HARRY POTTER DAN ORDO
PHOENIX
PERHATIAN
Terjemahan berikut adalah
terjemahan tidak resmi, dan karenanya saya tidak dapat menarik keuntungan
materi apapun darinya.
Terjemahan berikut akan
dihentikan dan dihapus dari server begitu terjemahan resminya keluar di
pasaran, jadi belilah terjemahan resmi tersebut!
Hargailah hak cipta dan kode
etik penerjemah amatir dengan tidak mengedarkan terjemahan berikut secara
komersial.
Jika Anda ingin meletakkan
terjemahan berikut pada situs pribadi Anda, mohon tidak menghapus bagian
PERHATIAN ini, serta tidak mengubah terjemahan. Anda boleh mengubah layout dan
tampilan, tapi TIDAK untuk isinya. Sangat diharapkan Anda memberi link ke https://hibiworks.tripod.com/harrypotter/
TTD
Penerjemah
============================================================================
ATTENTION
This below translation is an
unauthorized translation, and so I’m not in any position in taking any material
advantages.
This below translation will
be stopped from processing and will be deleted from server as soon as the
authorized translation is released, so buy the authorized one!
Respect copyrights and the
ethic of amateur translator by not spreading this below translation in any
commercial matter.
If you wish to put this
below translation into your personal webpages, please do not remove this
ATTENTION, and do not change the translation. You may change the layout and the
look to fit your webpages, but NOT the content. It is desirable that you put a
link to https://hibiworks.tripod.com/harrypotter/
Regards
Translator
============================================================================
~ BAB 3 ~
PENGAWALAN YANG DIPERKETAT
[Selesai pada: 6 September
2003]
Aku baru saja diserang
Dementor dan aku mungkin akan dikeluarkan dari Hogwarts. Aku ingin tahu apa
yang sedang terjadi dan kapan aku bisa pergi dari sini.
Harry mengkopi kalimat ini ke tiga lembar
perkamen begitu ia tiba di mejanya di kamarnya yang gelap. Yang pertama untuk
Sirius, yang kedua untuk Ron dan yang ketiga untuk Hermione. Burung hantunya,
Hedwig, sedang keluar berburu; sangkarnya yang kosong berdiri di mejanya. Ia mondar-mandir di kamarnya, menunggu
Hedwig pulang, kepalanya berdenyut, otaknya terlalu sibuk untuk tidur walaupun
matanya mengedut karena lelah. Punggungnya terasa sakit sehabis tadi menggotong
Dudley pulang, dan dua benjolan di kepalanya hasil benturan dengan daun jendela
dan pukulan Dudley terasa sakit menusuk.
Ia mondar-mandir, dipenuhi rasa marah dan
frustrasi, menggeretakkan giginya dan mengepalkan tinjunya, memancarkan
pandangan marah ke langit berbintang yang kosong setiap kali ia melewati
jendela. Dementor telah dikirim untuk menangkapnya, Nyonya Figg dan Mundungus
Fletcher memata-matainya diam-diam, penundaan dari Hogwarts dan pengadilan di
Kementerian Sihir – dan masih juga tak ada seorangpun yang mengatakan padanya
apa yang terjadi.
Dan apa, apa, maksud dari howler tadi
itu? Suara siapakah itu, yang begitu menakutkan, begitu mengancam, menggema
memenuhi dapur?
Dan kenapa dia masih terjebak di sini tanpa
sedikitpun informasi? Mengapa semua orang bersikap seakan-akan dia itu anak
nakal? Jangan lagi menggunakan sihir, tetap di rumah...
Ia menendang koper sekolahnya saat ia
melewatinya, tapi alih-alih merasa lebih enak ia justru merasa lebih buruk,
dengan rasa sakit menyengat di ujung kakinya sebagai penyempurna atas rasa
sakit di seluruh tubuhnya.
Tepat saat ia terpincang-pincang melewati
jendela, Hedwig terbang melaluinya dengan desir lembut sayapnya seperti hantu
mungil.
“Pas sekali!” Harry menggeram, sementara
Hedwig mendarat ringan di atas sangkarnya. “Letakkan itu, aku punya kerjaan
untukmu!”
Mata Hedwig yang besar, bulat dan kekuningan,
memandangnya lekat-lekat melampaui bangkai kodok di paruhnya.
“Sini,” kata Harry, meraih ketiga gulung
kecil perkamen dan tali kulit, mengikatkan gulungan-gulungan surat itu ke
kakinya yang bersisik. “Bawa ini langsung ke Sirius, Ron dan Hermione dan
jangan kembali ke sini kalau tidak dapat balasan yang panjang. Kalau perlu
patuki mereka terus sampai mereka menulis cukup panjang. Mengerti?”
Hedwig mengeluarkan bunyi koakan tak jelas,
paruhnya masih penuh oleh kodok.
“Kalau begitu, cepat berangkat,” kata Harry.
Hedwigpun terbang segera. Begitu ia
menghilang, Harry melemparkan dirinya ke tempat tidur tanpa mengganti pakaian
dan memandang ke langit-langit yang gelap. Dan sebagai tambahan atas semua
perasaan susahnya, ia kini merasa bersalah pada Hedwig, dia adalah satu-satunya
teman yang ia punya di sini di nomor empat, Privet Drive. Tapi ia akan
menebusnya nanti begitu Hedwig kembali membawa balasan dari Sirius, Ron dan
Hermione.
Mereka pasti akan segera membalas; mereka
tidak mungkin mengabaikan penyerangan Dementor. Besok mungkin ia akan bangun
mendapati tiga gulung surat yang gemuk-gemuk penuh dengan rasa simpati dan
rencana kepindahannya ke The Burrow. Dan dengan pemikiran yang menenangkan itu,
rasa kantuk menggulungnya, mencegahnya untuk kembali berpikir.
*
Tapi keesokan harinya,
Hedwig tidak kembali. Harry menghabiskan seharian itu di kamarnya, keluar hanya
untuk pergi ke kamar mandi. Hari itu tiga kali Bibi Petunia menyorongkan
makanan melalui pintu kecil di pintu kamarnya yang dibuatkan Paman Vernon tiga
musim panas yang lalu. Setiap kali
Harry mendengar bibinya mendekati pintu kamarnya ia berusaha menanyai bibinya
itu tentang howler tadi malam, namun ia seperti menginterogasi gagang pintu
saja. Keluarga Dursley tidak mengacuhkannya. Harry tidak melihat perlunya
menemani keluarga Dursley atau dekat-dekat mereka, ia merasa paling-paling itu
hanya akan membangkitkan amarahnya dan akan membuatnya melakukan sihir lagi.
Dan begitulah keadaannya selama tiga hari
penuh. Harry dipenuhi oleh energi yang tak habis-habisnya sehingga ia tidak
bisa diam, ia mondar-mandir di kamarnya, marah karena semua orang membiarkannya
kebingungan dalam semua kekacauan ini; dan begitu kelelahan menyerangnya iapun
berbaring di ranjangnya sekitar sejam, bengong, ngilu karena kengerian
mengingat pengadilan Kementerian.
Bagaimana kalau mereka menentangnya?
Bagaimana kalau dia benar-benar dikeluarkan dari Hogwarts dan tongkatnya
dipatahkan jadi dua? Apa yang akan dia lakukan, ke mana dia akan pergi? Ia
tidak akan bisa tinggal sepanjang tahun bersama keluarga Dursley, tidak setelah
kini ia mengetahui adanya dunia yang lain, dunianya. Mungkinkan ia bisa pindah
ke rumah Sirius, seperti yang ia usulkan tahun lalu, sebelum akhirnya ia
terpaksa melarikan diri dari Kementerian? Mungkinkah dia akan diijinkan tinggal
sendirian, mengingat dia masih dibawah umur? Ataukah ke mana ia akan pergi akan
diputuskan juga? Apakah pelanggarannya atas Konfederasi International
Undang-undang tentang Kerahasiaan Sihir cukup untuk memasukkannya ke Azkaban?
Setiap kali pemikiran ini muncul, Harry selalu meluncur turun dari ranjangnya,
dan mulai mondar-mandir lagi.
Pada malam keempat semenjak kepergian Hedwig,
Harry sedang berbaring di ranjangnya, sudah sampai pada tingkat masa bodoh
dengan semuanya, memandang ke langit-langit, pikirannya yang lelah telah
kosong, ketika pamannya memasuki kamarnya. Perlahan Harry memutar matanya ke
arah pamannya. Paman Vernon mengenakan setelannya yang terbaik dan tampak rapi
sekali.
“Kami mau pergi,” katanya.
“Apa?”
“Kami – bibimu, Dudley, dan aku – mau pergi.”
“Baiklah,” kata Harry tak acuh, kembali
memandang langit-langit.
“Kau tidak boleh keluar kamar selama kami
pergi.”
“OK.”
“Kau tidak boleh menyentuh tv, stereo-set,
atau apapun milik kami.”
“Ya.”
“Kau tidak boleh mencuri makanan dari
kulkas.”
“OK.”
“Aku akan mengunci kamarmu.”
“Silahkan.”
Paman Vernon memandang Harry; jelas ia curiga
dengan tingkahnya yang tidak sepatahpun menentangnya; kemudian iapun berdebum keluar
kamar dan menutup pintu. Harry mendengar suara kunci berputar, dan
langkah-langkah berat Paman Vernon menuruni tangga. Beberapa menit kemudian ia
mendengar suara bantingan pintu mobil, suara mesin dihidupkan, dan tidak salah
lagi suara mobil menderu di jalan.
Tak ada perasaan tertentu bagi Harry, soal
kepergian keluarga Dursley. Mau mereka ada di rumah atau tidak, baginya sama
saja. Ia bahkan tidak mampu memanggil kekuatan untuk bangun dan menyalakan
lampu kamarnya. Ruangan itu mulai gelap sementara ia berbaring mendengarkan
suara malam yang masuk melalui jendelanya yang ia biarkan tetap terbuka,
menunggu datangnya keberkahan bila Hedwig kembali.
Rumah yang kosong itu berderak. Pipa-pipa
menggerung pelan. Harry berbaring setengah tak sadar, pikirannya kosong.
Kemudian, cukup jelas, ia mendengar suara
dari dapur.
Ia terlonjak duduk, mendengarkan dengan
tajam. Keluarga Dursley tidak mungkin kembali, terlalu cepat, dan lagipula ia
sama sekali tidak mendengar suara mobil mereka.
Kemudian sunyi untuk beberapa detik, kemudian
terdengar lagi suara-suara.
Pencuri, pikirnya, meluncur turun dari
ranjangnya – tetapi beberapa detik kemudian ia menyadari bahwa pencuri pasti
tidak akan bersuara ribut, dan kelihatannya siapapun yang ada di bawah sana,
sama sekali tidak berusaha untuk tidak ribut.
Ia merenggut tongkatnya dari meja di sisi
ranjangnya dan berdiri mengahadap pintu kamarnya, mendengarkan dengan seksama.
Saat berikutnya, ia terloncat ketika terdengar suara kunci dan pintu kamarnya
terbuka.
Harry berdiri diam, menatap ke kegelapan
melalui pintu yang terbuka, menajankan telinganya, namun tak terdengar apa-apa.
Sesaat ia ragu, tapi kemudian dengan cepat ia bergerak keluar kamar menuju
puncak tangga.
Rasanya jantungnya mau copot. Ada orang
berdiri di bawah sana, di kegelapan, dalam siluet yang dibentuk oleh bias
lampu-lampu jalan yang menembus melalui pintu kaca; delapan orang atau
sembilan, semuanya, menurut perkiraannya, menatapnya.
“Turunkan tongkatmu, nak, sebelum kau
menyerang seseorang,” kata sebuah suara yang rendah dan menggeram.
Dada Harry berdebar keras. Ia kenal suara
itu, tapi ia tidak menurunkan tongkatnya.
“Profesor Moody?” tanyanya tak yakin.
“Aku tidak tahu menahu soal ‘Profesor’,”
geram suara itu, “aku tidak pernah benar-benar mengajar, ya kan? Turunlah, kami
mau melihatmu lebih jelas.”
Harry menurunkan tongkatnya sedikit, tetapi
tidak mengendurkan genggamannya, tidak juga bergerak. Ia punya alasan yang
lebih dari cukup untuk merasa curiga. Baru-baru ini ia telah menghabiskan waktu
sembilan bulan mengira bahwa Mad Eye Moody adalah temannya hanya untuk kemudian
mendapati bahwa oran tersebut bukanlah Moody, ia seorang penipu; penipu yang
bahkan berusaha membunuhnya sebelum kedoknya terbongkar. Tetapi sebelum ia bisa
memutuskan apa yang hendak dilakukannya kemudian, suara kedua, agak serak,
terdengar.
“Jangan khawatir, Harry. Kami datang untuk
menjemputmu.”
Jantung Harry meloncat. Dia juga kenal suara
itu, walaupun ia sudah tidak mendengarnya selama lebih dari setahun.
“P-Profesor Lupin?” katanya tak percaya.
“Anda-kah itu?”
“Kenapa kita semua berdiri
gelap-gelapan begini?” kata suara ketiga, yang ini suara yang tidak dikenal
Harry, suara wanita. “Lumos.”
Sebuah tongkat menyala ujungnya, menerangi
lorong dengan cahaya sihir. Harry mengerjap. Orang-orang di bawah memadati kaki
tangga, menatap ke arahnya, beberapa menjulurkan lehernya supaya bisa melihat
lebih jelas.
Remus Lupin berdiri paling dekat dengannya.
Walaupun masih cukup muda, Lupin kelihatan lelah dan seperti orang sakit; ia
memiliki uban lebih banyak daripada saat terakhir Harry mengucapkan selamat
berpisah padanya dan jubahnya lebih bertambal-tambal dan lusuh dari sebelumnya.
Sekalipun demikian, ia tersenyum lebar pada Harry, yang berusaha untuk balas
tersenyum dalam keterkejutannya.
“Oooh, dia kelihatan persis seperti
dugaanku,” kata seorang penyihir wanita yang mengacungkan tongkatnya yang
bercahaya. Tampaknya dia yang paling muda di sana; ia memiliki wajah pucat yang
berbentuk hati, mata hitam yang bercahaya, dan rambut pendek runcing-runcing
serta berwarna ungu mencolok. “Penjaga, Harry!”
“Yeah, aku mengerti sekarang, Remus,” kata
seorang penyihir berkulit hitam dan botak yang berdiri paling jauh di belakang
– ia bersuara dalam dan lambat, serta mengenakan sebuah simpai emas di
telinganya – “Dia persis seperti James.”
“Kecuali matanya,” kata sebuah suara
terengah, milik seorang penyihir berambut perak. “Mata Lily.”
Mad-Eye Moody, yang berambut panjang beruban
dan sepotong besar hidungnya hilang, melirik curiga pada Harry melalui matanya
yang tidak sama besar. Yang satu kecil, gelap seperti manik-manik, sementara
yang lain besar, bulat berwarna biru elektrik – mata gaibnya yang dapat melihat
menembus dinding, pintu, dan bagian belakang kepala Moody sendiri.
“Apa kau cukup yakin itu dia, Lupin?”
geramnya. “Bisa jadi perhatian besar kalau kita malah bawa pulang Pelahap Maut
yang menyamar jadi dia. Kita mesti menanyakan sesuatu yang hanya Potter yang
asli yang tahu jawabannya. Kecuali kalau ada yang bawa Veritaserum?”
“Harry, Patronusmu berbentuk apa?” tanya
Lupin.
“Rusa jantan,” sahut Harry gugup.
“Itu benar dia, Mad-Eye,” kata Lupin.
Yakin bahwa semuanya masih memandanginya.
Harry menuruni tangga, menyimpan tongkatnya di kantong belakang celana jinsnya.
“Jangan taruh tongkatmu di situ, Nak,” seru
Moody. “Bagaimana kalau tongkat itu membakarmu? Lebih baik kelihatan seperti
penyihir daripada kehilangan bokong, tahu!”
“Memangnya siapa yang kau tahu sudah
kehilangan bokongnya?” tanya penyihir berambut ungu, tertarik.
“Sudahlah, pokoknya jangan kau taruh
tongkatmu di kantong belakang,” gerutu Moody. “Keamanan tongkat tingkat dasar,
tak ada lagi orang yang peduli.” Ia berdebum ke arah dapur. “Dan aku lihat
itu,” tambahnya meradang, saat si penyihir wanita memutar matanya melihat ke
langit-langit.
Lupin mengulurkan tangannya dan menyalami
Harry.
“Apa kabar?” tanyanya, menatap Harry
lekat-lekat.
“B-baik...”
Harry sulit percaya bahwa ini semua nyata.
Empat minggu tanpa apapun, tanpa petunjuk sekecil apapun yang merencanakan
kepindahannya dari Privet Drive, dan tiba-tiba saja sekelompok penyihir berdiri
di situ seolah-olah ini semua sudah lama direncanakan. Ia memandang sekilas
semua wajah di sekitar Lupin, semuanya masih memandangnya dengan penuh minat.
Ia jadi menyadari bahwa dia sudah empat hari tidak sisiran.
“Aku – kalian beruntung sekali keluarga
Drusley sedang keluar...” gumamnya.
“Beruntung, he!” kata wanita berambut ungu.
“Akulah yang membuat mereka keluar. Kukirim surat lewat pos Muggle, isinya
mengatakan bahwa mereka memenangkan Kompetisi Pemelihara Kebun Terbaik
Se-Inggris. Sekarang mereka sedang menuju ke penyerahan hadiah... atau
setidaknya begitulah mereka kira.”
Harry sekilas membayangkan wajah Paman Vernon
saat mengetahui bahwa tidak ada yang namanya Kompetisi Pemelihara Kebun Terbaik
Se-Inggris.
“Kita semua akan pergi, kan?” tanyanya.
“Secepatnya?”
“Ya,” kata Lupin. “Kita tunggu tanda kalau
semuanya aman.”
“Kita akan ke mana? The Burrow?” tanya Harry
penuh harap.
“Bukan The Burrow, bukan,” kata Lupin,
mendorong Harry ke dapur, rombongan penyihir mengikuti mereka, masih memandanginya dengan penuh minat.
“Terlalu riskan. Kami sudah menyiapkan sebuah markas, di suatu tempat yang
tidak terdeteksi. Akan sedikit makan waktu...”
Mad-Eye Moody saat itu sedang duduk di meja
dapur, tegak dekat termos, mata gaibnya berputar ke segala arah, ke setiap
peralatan penghemat tenaga milik keluarga Dursley.
“Ini Alastor Moody, Harry,” lanjut Lupin,
menunjuk pada Moody.
“Yeah, aku tahu,” kata Harry tak enak. Aneh
rasanya diperkenalkan kepada orang yang ia kira sudah dikenalnya selama
setahun.
“Dan ini Nymphadora –“
“Jangan sebut aku Nymphadora, Remus,” kata
seorang penyihir wanita muda, dengan suara gemetar. “Panggil aku Tonks.”
“Nymphadora Tonks, yang lebih suka dikenal
dengan nama belakangnya saja,” tuntas Lupin.
“Kau juga akan begitu kalau ibumu dengan
bodoh memanggilmu Nymphadora,” gerutu Tonks.
“Dan ini Kingsley Shacklebolt.” Ia menunjuk
pada penyihir tinggi berkulit hitam, yang mengangguk. “Elphias Doge.” Penyihir
dengan suara terengah, mengangguk. “Dedalus Diggle–“
“Kita sudah pernah bertemu,” cicit Diggle
bersemangat, topi ungunya merosot dari kepalanya.
“Emmeline Vance.” Seorang penyihir wanita
berwajah tegas dalam balutan syal hijau emerald, mencondongkan kepalanya.
“Sturgis Podmore.” Seorang penyihir berahang persegi dan berambut kuning muda
seperti jerami, mengerjap. “Dan Hestia Jones.” Seorang penyihir wanita berpipi
merah jambu dan berambut hitam, melambai dari sisi toaster.
Harry mengangguk canggung pada setiap
penyihir yang diperkenalkan. Ia berharap mereka melihat hal lain selain
dirinya; rasanya seperti tiba-tiba saja digiring naik ke suatu panggung. Ia
juga bertanya-tanya mengapa mereka ada begini banyak.
“Sejumlah orang menjadi sukarelawan untuk menjemputmu
– jumlah yang mengejutkan,” kata Lupin, seolah-olah dia bisa membaca pikiran
Harry; sudut bibirnya tertarik sedikit.
“Yeah, kan, lebih banyak lebih baik,” ujar
Moody misterius. “Kami pengawalmu, Potter.”
“Kita hanya tinggal menunggu sampai ada tanda
kalau sudah aman untuk berangkat,” kata Lupin, memandang sekilas ke luar
jendela dapur. “Kita punya sekitar lima belas menit.”
“Bersih sekali, ya, para muggle ini?” kata
penyihir yang bernama Tonks, yang sedang melihat-lihat dapur dengan penuh minat.
“Ayahku kelahiran muggle, dan dia jorok. Kurasa muggle memang macam-macam, ya,
seperti penyihir?”
“Ng – yeah,” kata Harry. “Dengar –“ ia
berbalik menghadap Lupin, “apa yang sedang terjadi, belum ada yang
memberitahuku sesuatu, apa yang Vol –“
Beberapa penyihir membuat suara mendesis yang
aneh. Dedalus Diggle menjatuhkan topinya lagi dan Moody menggeram. “Diam!”
“Apa?” kata Harry.
“Kita tidak akan mendiskusikan apapun di
sini, terlalu riskan,” kata Moody, memutar mata normalnya ke arah Harry. Mata
gaibnya tetap fokus ke langit-langit. “Sial,” tambahnya marah, tangannya
mendorong mata gaibnya. “Jadi kaku – sejak bedebah itu memakainya.”
Dan dengan sebuah suara mencelup yang
menjijikkan, lebih seperti suara alat penghisap yang ditarik dari lubang bak
cuci, ia mengeluarkan matanya.
“Mad-Eye, kau tahu kan kalau itu
menjijikkan,” kata Tonks ramah.
“Tolong, ambilkan aku segelas air, Harry,”
pinta Moody.
Harry, masih tetap diawasi oleh para penyihir
itu, melangkah ke rak piring, mengambil gelas bersih, dan mengisikannya dengan
air dari kran di bak cuci. Pandangan mereka yang tak henti-hentinya itu mulai
mengganggunya.
“Bersulang,” kata Moody, saat Harry
menyerahkan gelas itu. Ia menceburkan bola mata gaibnya ke dalam air, dan
menggoyang-goyangkannya; mata itu berputar mendesir, memandang mereka semua
dalam satu putaran. “Aku mau penglihatan 360 derajat untuk perjalanan pulang
nanti.”
“Bagaimana caranya kita pergi – ke manapun
itu?” tanya Harry.
“Sapu,” kata Lupin. “Satu-satunya cara. Kau
terlalu muda untuk ber-apparate, dan mereka pasti akan mengawasi Jalur Floo dan
taruhannya lebih dari sekedar nyawa untuk membuat Portkey tidak resmi.”
“Kata Remus kau jago terbang,” kata Kingsley
Shacklebolt dalam suaranya yang dalam.
“Dia hebat,” kata Lupin, yang sedang mengecek
jamnya. “Ngomong-ngomong, kau sebaiknya berkemas, Harry. Aku ingin kita sudah
siap untuk pergi begitu tandanya muncul.”
“Aku akan ikut membantumu,” kata Tonks cerah.
Ia mengikuti Harry ke lorong dan menaiki
tangga, memandang sekeliling dengan rasa keingintahuan dan ketertarikan yang
lebih besar.
“Rumah yang lucu,” katanya. “Agak terlalu
bersih, tahu kan maksudku? Agak ngga alami. Oh, yang ini lebih baik,”
tambahnya, ketika mereka tiba di kamar Harry dan Harry menyalakan lampu.
Kamarnya jelas jauh lebih berantakan daripada
ruangan lain rumah ini. Terkurung di dalamnya selama 4 hari dengan mood yang
jelek, Harry sama sekali tidak terpikir untuk membereskannya. Hampir semua buku
miliknya tersebar di lantai di mana ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan
buku-buku itu dan kemudian melemparkannya; sangkar Hedwig perlu dibersihkan dan
sudah mulai berbau; dan kopernya terbuka, memuntahkan pakaian-pakaian muggle
dan jubah-jubah penyihir ke lantai di sekitarnya.
Harry mulai memunguti buku-bukunya dan
melemparkannya ke koper dengan tergesa-gesa. Tonks berhenti di depan lemari
pakaian Harry yang terbuka, memandangi bayangan dirinya di cermin yang terdapat
di sisi dalam pintu lemari itu.
“Tahu ngga, kurasa ungu bukan warna yang
tepat untukku,” katanya murung, menarik salah satu ikal tajam rambutnya.
“Menurutmu, apa ini membuatku kelihatan agak tajam?”
“Ng –“ kata Harry, memandangnya melalui
poster tim Quidditch Inggris dan Irlandia.
“Ya, memang, kok,” kata Tonks dengan tegas.
Ia memutar-mutar matanya dengan mimik tegang, seakan-akan sedang
mengingat-ingat sesuatu. Sedetik kemudian, rambutnya berubah jadi pink pucat
seperti warna permen karet.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanya Harry,
tenganga padanya begitu matanya normal kembali.
“Aku ini Metamorfmagus,” katanya, memandang
pantulan dirinya, dan berputar untuk melihat rambutnya dari semua sisi.
“Artinya aku bisa mengubah penampilanku sesuai keinginanku,” tambahnya, melihat
wajah bingung Harry melalui cermin. “Sejak lahir sudah begitu. Aku mendapat
nilai tertinggi dalam Persembunyian dan Penyamaran selama pelatihan Auror,
tanpa belajar sama sekali, benar-benar asyik.”
“Kau seorang Auror?” kata Harry, terkesan.
Menjadi penangkap penyihir hitam adalah satu-satunya karir yang terpikir
olehnya bila ia lulus dari Hogwarts.
“Yeah,” kata Tonks, tampak bangga. “Kingsley
juga, dia lebih tinggi tingkatannya daripada aku, sih. Aku baru lulus setahun
lalu. Aku nyaris gagal dalam Pengintaian dan Pemindaian. Aku benar-benar
ceroboh, kau dengar aku memecahkan piring waktu kami tiba di bawah?”
“Apa kita bisa belajar untuk jadi
Metamorfmagus?” tanya Harry, meluruskan punggungnya, benar-benar lupa pada
urusan berkemas.
Tonks tersedak.
“Taruhan, kurasa kau tidak akan keberatan
untuk menyembunyikan bekas luka itu, eh?,”
Matanya memandang bekas luka berbentuk
sambaran kilat di dahi Harry.
“Tidak, sama sekali tidak,” Harry bergumam,
memalingkan wajahnya. Ia tidak suka orang memandangi bekas lukanya.
“Sayangnya kelihatannya kau harus belajar
keras sekali,” kata Tonks. “Metamorfmagi itu sangat langka, bawaan lahir, bukan
dibuat. Kebanyakan penyihir harus menggunakan tongkat, atau ramuan untuk
mengubah penampilan mereka. Tapi kita musti cepat-cepat, Harry, kita seharusnya
berkemas,” tambahnya dengan perasaan bersalah, memandang kesemrawutan di
lantai.
“Oh – yeah,” kata Harry, meraih beberapa
buku.
“Jangan bodoh, akan lebih cepat kalau aku
yang ber – kemas!” seru Tonks, mengayunkan tongkatnya dalam satu sapuan
panjang ke lantai.
Buku, pakaian, teleskop, dan timbangan, naik
ke udara dan terbang tunggang-langgang menuju koper.
“Ngga terlalu rapih,” kata Tonks, mendekati
koper itu dan melihat barang-barang di dalamnya tercampur aduk. “Ibuku selalu
melakukannya dengan rapih sekali – dia bahkan bisa membuat sepasang kaus kaki
melipat sendiri – tapi aku tak pernah menguasainya – kaya’nya cuma dengan
semacam jentikan –“ ia menjentikkan tongkatnya penuh harap.
Salah satu kaus kaki Harry berayun lemah dan
tergeletak kembali di atas tumpukan barang-barang yang berantakan di koper.
“Ah, sudahlah,” kata Tonks, menutup koper
itu. “Paling ngga semuanya sudah masuk. Kita juga bisa bersih-bersih sedikit.”
Ia mengacungkan tongkatnya ke sangkar Hedwig. “Scourgify.” Beberapa bulu
dan kotoran pun menghilang. “Yah, ini sedikit lebih baik – aku kurang
mahir dengan segala tetek-bengek mantra pekerjaan rumah. Yak – sudah semuanya?
Kuali? Sapu? Wow! – Firebolt!”
Sepasang matanya melebar begitu keduanya
melihat sapu itu di tangan Harry. Itu adalah sapu kebanggaan dan kesayangannya,
hadiah dari Sirius, sapu terbang berstandar internasional.
“Dan aku masih pakai Komet Dua Enam Puluh,”
katanya menerawang. “Ah sudahlah... tongkatmu masih di kantong? Bokongmu masih
ada, kan? OK, kita berangkat. Koper, jalan.”
Koper Harry naik beberapa inci ke udara.
Dengan mengangkat tongkatnya bak seorang dirigen, Tonks membuat koper itu
meluncur menyeberangi ruangan dan keluar melalui pintu di depan mereka,
sementara tangan kirinya memegang sangkar Hedwig. Harry mengikutinya dengan
sapunya di genggamannya.
Kembali ke dapur, Moody sudah memakai kembali
matanya, yang berputar-putar dengan cepat sekali setelah dibersihkan, membuat
Harry merasa mual melihatnya. Kingsley Shacklebolt dan Sturgis Podmore sedang
mengamat-amati microwave dan Hestia Jones sedang tertawa pada alat pengupas
kentang yang ditemukannya setelah membongkar-bongkar rak. Lupin sedang
merekatkan surat yang ditulisnya untuk keluarga Dursley.
“Sempurna,” kata Lupin, begitu Tonks dan
Harry masuk. “Sepertinya kita masih punya satu menit. Mungkin sebaiknya kita
semua menunggu di taman. Harry, aku sudah meninggalkan surat supaya paman dan
bibimu tidak mengkhawatirkan –“
“Ngga akan.” kata Harry.
“ – bahwa kau baik-baik saja –“
“Itu cuma akan membuat mereka depresi.”
“ – dan bahwa kau akan menemui mereka lagi
musim panas tahun depan.”
“Haruskah?”
Lupin tersenyum tapi tidak menyahut.
“Ke sini, nak,” kata Moody dengan suara
seram, memberi isyarat pada Harry dengan tongkatnya. “Aku perlu men-ilusikan
dirimu.”
“Kau perlu apa?” kata Harry gugup.
“Jimat Pengilusian,” kata Moody, mengangkat
tongkatnya. “Kata Lupin kau punya Jubah Gaib, tapi akan repot kalau dipakai
terbang; jimat ini akan menyamarkanmu dengan lebih baik. Yak –“
Ia mengetukkan tongkatnya ke puncak kepala
Harry keras-keras, dan Harry merasakan perasaan aneh seolah-olah Moody telah
memecahkan telur di kepalanya; rasa dingin seperti mengalir dari tempat tongkat
itu diketukkan menuju ke seluruh tubuhnya.
“Bagus sekali, Mad-Eye,” kata Tonks menghargai,
memandangi perut Harry.
Harry melihat ke badannya, atau mungkin, yang
tadinya badannya, sebab kini sama sekali tidak kelihatan seperti badannya lagi.
Tubuhnya tidak menghilang, melainkan seperti menyatu dengan segenap warna dan
tekstur dari peralatan dapur di belakangnya. Ia seperti telah menjadi manusia
bunglon.
“Ayo,” kata Moody, membuka kunci pintu dapur
dengan tongkatnya.
Mereka semua melangkah ke kebun Paman Vernon
yang indah terpelihara.
“Malam yang cerah,” kata Moody, mata gaibnya
men-scan langit. “Akan bagus kalau pakai sedikit awan. Yak, kau,” ia menggerung
pada Harry, “kita akan terbang dalam formasi rapat. Tonks akan tepat di
depanmu, tetaplah dekat dengan ujung sapunya. Lupin akan menjagamu dari bawah. Aku
akan ada di belakangmu. Yang lain akan berputar mengelilingi kita. Kita tidak
akan mengubah formasi apapun yang terjadi, paham? Kalau salah satu dari kita
terbunuh –“
“Apa itu mungkin?” tanya Harry ngeri, tapi
Moody mengacuhkannya.
“ – yang lain terus terbang, jangan berhenti,
jangan mengubah formasi. Kalau mereka berhasil menghabisi kita semua dan kau
selamat, Harry, pengawal belakang berjaga-jaga untuk mengambil alih; teruslah
terbang ke timur, dan mereka akan bergabung denganmu.”
“Jangan begitu ceria, Mad-Eye, nanti dia kira
kita lagi main-main,” kata Tonks, sambil menggantungkan koper Harry dan sangkar
Hedwig ke pelana yang menggantung di sapunya.
“Aku cuma kasih tahu rencananya,” geram
Moody. “Tugas kita adalah mengantarkan dia sampai markas dengan selamat dan
jika kita tewas saat sedang mencoba –“
“Tak seorangpun akan tewas,” kata Kingsley
Shacklebolt, dengan suara yang dalam menenangkan.
“Naik ke sapu. Itu tanda yang pertama,” kata
Lupin tajam, menunjuk ke angkasa.
Jauh, jauh di atas sana, semacam kembang api
merah memancar terang di antara bintang-bintang. Harry segera mengenalinya sebagai
kembang api dari sebuah tongkat. Ia mengayunkan kaki kirinya melewati Firebolt,
menggenggam pegangannya dengan kuat dan merasakannya bergetar halus seolah-olah
sapu itu sama bersemangatnya seperti dirinya karena bisa terbang lagi.
“Tanda kedua, berangkat!” kata Lupin keras,
begitu jauh di atas sana, kembang api meledak lagi, kali ini hijau dan lebih
banyak.
Harry menjejakkan kakinya kuat-kuat ke tanah.
Angin malam yang sejuk menyapu rambutnya seraya taman persegi nan rapi di
Privet Drive itu menjauh, mengerut dengan cepat hingga tinggal seperti anyaman
hijau dan hitam, dan semua pikiran tentang pengadilan dengan Kementerian ikut
tersapu dari pikirannya seakan-akan hembusan angin meniupkannya keluar dari
kepalanya. Ia merasa sepertinya dadanya akan meledak karena girang; dia terbang
lagi, terbang jauh dari Privet Drive persis seperti impiannya selama musim
panas ini, dia akan pulang... untuk sesaat yang penuh kemenangan, seluruh masalahnya
seperti menjadi tak berarti bila dibandingkan dengan langit berbintang yang
maha luas ini.
“Patah ke kiri, ke kiri, ada muggle yang
melihat ke atas!” seru Moody dari belakangnya. Tonks membelok dan Harry
mengikutinya, mengawasi kopernya yang mengayun liar di belakang sapu Tonks. “Kita
mesti sedikit lebih tinggi... ayo naik seperempat mil lagi!”
Mata Harry berair karena dingin saat mereka
meninggi; ia tak dapat melihat apapun di bawah sana kecuali kerlip-kerlip
cahaya dari lampu mobil dan jalan. Dua di antara cahaya kecil itu mungkin berasal
dari mobil Paman Vernon... keluarga Dursley mungkin sedang dalam perjalanan pulang
sekarang, penuh dengan kegusaran terhadap kenyataan bahwa kompetisi kebun itu
ternyata tidak ada... dan Harry tertawa keras memikirkannya, walau tawanya ditenggelamkan
oleh suara kelepakan jubah para penyihir itu, serta suara derakan pelana yang
mengangkut koper dan sangkar, dan suara desauan angin yang menderu di telinga
sementara mereka terbang cepat di udara. Ia tidak pernah merasa sehidup ini,
atau sebahagia ini, selama musim panas ini.
“Tahan ke selatan!” seru Moody. “Di depan ada
kota!”
Mereka terbang ke selatan untuk menghindari
jaring-jaring lampu berkelip di bawah sana.
“Tenggara sedikit dan tetap ke atas, ada awan
rendah di depan, kita bisa menggunakannya!” kata Moody.
“Kita ngga akan terbang melewati awan!” seru
Tonks marah. “kita bisa basah kuyup, Mad-Eye!”
Harry lega mendengarnya; tangannya mulai
terasa beku di pegangan Firebolt. Ia berharap seandainya tadi terpikir untuk
memakai mantel, ia kini mulai menggigil.
Mereka mengubah arah setiap beberapa saat,
sesuai dengan instruksi dari Moody. Mata Harry mengabur menahan hembusan angin
dingin yang mulai membuat telinganya sakit; ia ingat ia pernah merasa sedingin
ini di atas sapu sekali; saat pertandingan Quidditch melawan Hufflepuff ditahun
ketiganya, yang diselenggarakan di tengah badai. Pengawalan di sekitar Harry
terus mengitarinya, seperti sekawanan burung pemangsa. Harry tak dapat memperkirakan
waktu, ia tidak tahu sudah berapa lama ia terbang, mungkin sekitar satu
setengah jam.
“Belok ke baratdaya!” teriak Moody. “Kita
akan menghindari jalan raya!”
Harry merasa begitu kedinginan sampai-sampai
ia merasa begitu rindu akan kehangatan dan kenyamanan berada di dalam mobil
yang berbaris di bawah sana, bahkan lebih rindu lagi pada bubuk Floo; memang tidak
nyaman berputar-putar dalam cerobong asap, tapi paling tidak rasanya hangat
dekat api... Kingsley Shacklebolt terbang memutarinya, kepala botak dan
antingnya bercahaya karena sinar bulan... sekarang Emmeline Vance yang berada
di kanannya, tongkatnya teracung, kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan... dan
kemudian dia pun terbang memutarinya, digantikan oleh Sturgis Podmore...
“Kita mesti ambil jalan memutar sedikit untuk
memastikan kita tidak diikuti!” Moody berteriak.
“KAU GILA YA, MAD-EYE?” jerit Tonks dari
depan. “Kami semua beku di atas sapu! Kalau kita terus di luar jalur, bisa-bisa
kita baru sampai minggu depan! Lagipula, kita sudah hampir sampai!”
“Saatnya untuk turun!” suara Lupin terdengar.
“Ikuti Tonks, Harry!”
Harry menukik mengikuti Tonks. Mereka menuju
ke sekelompok lampu-lampu terbesar yang mereka lihat sejak tadi, lampu-lampu
yang saling silang-menyilang, bercahaya dalam barisan-barisan, bercampur dengan
kegelapan. Mereka terbang semakin rendah, hingga Harry bisa melihat lampu-lampu
itu dengan lebih jelas, juga cerobong asap dan televisi. Ia begitu ingin
menyentuh tanah, kendati ia begitu yakin seseorang harus mencairkan dirinya untuk
lepas dari sapunya.
“Kita sampai!” kata Tonks, dan beberapa detik
kemudian iapun mendarat.
Harry mendarat tepat di belakangnya dan turun
di atas rumput yang tak terpelihara di tengah-tengah sebuah kompleks kecil. Tonks
sudah menurunkan koper Harry. Menggigil, Harry melihat sekeliling. Rumah-rumah
yang kotor di sekelilingnya sama sekali tidak tampak bersahabat menyambutnya, beberapa
kaca bahkan pecah, berkelip konyol oleh sinar lampu jalan, pintu-pintu dengan
cat terkelupas, dan timbunan sampah tampak di atas beberapa pijakan kaki di
depan pintu.
“Di mana kita?” tanya Harry, tapi Lupin
berkata pelan,”Sebentar.”
Moody merogoh-rogoh mantelnya, tangannya yang
berbonggol-bonggol kaku karena dingin.
“Yak, dapat,” gumamnya, ia mengacungkan ke
udara sesuatu yang seperti pemantik api dan menyalakannya.
Lampu jalan yang terdekat padam dalam bunyi
pop. Ia menyalakan pemadam itu lagi dan lampu di sebelahnya padam; ia terus
begitu sampai semua lampu di kompleks itu padam dan satu-satunya cahaya yang
tersisa berasal dari jendela-jendela yang bertirai dan bulan sabit di atas.
“Pinjam dari Dumbledore,” kata Moody, mengantungkan
Pemadam-Lampu itu. “Itu akan mengatasi para muggle yang melihat keluar.
Sekarang, ayo, cepat.”
Ia menggamit lengan Harry dan menuntunnya
menyeberangi jalan menuju ke jalur pejalan kaki. Lupin dan Tonks menyusul,
dengan koper Harry di antara mereka, dan pengawal yang lain bersisian, dengan
tongkat teracung.
Suara stereo-set sayup-sayup terdengar dari jendela
teratas di rumah terdekat. Bau menusuk dari sampah busuk berasal dari timbunan
plastik-plastik sampah menggembung tepat di balik pagar yang rusak.
“Ini,” gumam Moody, menyorongkan sebuah perkamen
ke tangan Harry yang terilusi dan mendekatkan tongkatnya yang menyala; untuk
menerangi tulisan di atasnya. “Baca dengan cepat dan ingat baik-baik.”
Harry menunduk, melihat ke sepotong perkamen
itu. Tulisan tangan yang rapat-rapat rasanya tidak asing lagi. Tulisan itu
berbunyi:
Markas besar Ordo Phoenix dapat ditemukan
di Grimmauld Place, Nomor Duabelas, London.
~ BAB 3 SELESAI ~