HARRY POTTER DAN ORDO
PHOENIX
PERHATIAN
Terjemahan berikut adalah
terjemahan tidak resmi, dan karenanya saya tidak dapat menarik keuntungan
materi apapun darinya.
Terjemahan berikut akan
dihentikan dan dihapus dari server begitu terjemahan resminya keluar di
pasaran, jadi belilah terjemahan resmi tersebut!
Hargailah hak cipta dan kode
etik penerjemah amatir dengan tidak mengedarkan terjemahan berikut secara
komersial.
Jika Anda ingin meletakkan
terjemahan berikut pada situs pribadi Anda, mohon tidak menghapus bagian
PERHATIAN ini, serta tidak mengubah terjemahan. Anda boleh mengubah layout dan
tampilan, tapi TIDAK untuk isinya. Sangat diharapkan Anda memberi link ke https://hibiworks.tripod.com/harrypotter/
TTD
Penerjemah
============================================================================
ATTENTION
This below translation is an
unauthorized translation, and so I’m not in any position in taking any material
advantages.
This below translation will
be stopped from processing and will be deleted from server as soon as the
authorized translation is released, so buy the authorized one!
Respect copyrights and the
ethic of amateur translator by not spreading this below translation in any
commercial matter.
If you wish to put this
below translation into your personal webpages, please do not remove this
ATTENTION, and do not change the translation. You may change the layout and the
look to fit your webpages, but NOT the content. It is desirable that you put a
link to https://hibiworks.tripod.com/harrypotter/
Regards
Translator
============================================================================
~ BAB 2 ~
PATUKAN BURUNG HANTU
[Selesai pada: 11 Agustus
2003]
“Apa?” kata Harry keheranan.
“Dia pergi!” kata Nyonya Figg, mengayunkan
tangannya. “Dia pergi hanya demi sejumlah cauldron yang jatuh dari sapu!
Kubilang padanya, akan kukuliti dia hidup-hidup kalau berani pergi! Dan
sekarang, lihat! Dementor! Untung saja aku sudah menugaskan Tuan Tibbles! Tapi
kita tidak bisa berada di sini! Ayo, cepat, aku harus membawamu pulang! Oh,
masalah ini benar-benar kelewatan! Akan kubunuh dia!”
“Tapi –“ bagi Harry, tersingkapnya kenyataan
bahwa tetangganya yang suka keluyuran malam-malam dan maniak kucing ini tahu
apa itu Dementor merupakan kejutan yang sama besarnya dengan pertemuannya
dengan dua Dementor di gang itu. “Anda – Anda seorang penyihir?”
“Aku Squibb, Mundungus tahu benar itu. Jadi
memangnya bagaimana semestinya aku membantumu menghadapi Dementor? Dia
meninggalkanmu benar-benar tanpa penjagaan, padahal aku sudah peringatkan
dia –“
“Si Mundungus ini mengikuti saya? Tunggu –
kalau begitu itu pasti dia! Dia ber-disapparate dari depan rumah saya!”
“Ya, ya, ya, dan untungnya aku sudah
menempatkan Tuan Tibbles di bawah mobil, dan dia datang memperingatkan aku,
tapi begitu aku sampai di rumahmu kau sudah pergi – dan sekarang – oh apa
yang akan dikatakan Dumbledore? Kau!” ia memekik kepada Dudley, yang masih
telentang di jalan. “Angkat pantat besarmu itu dari tanah, cepat!”
“Anda kenal Dumbledore?” kata Harry,
menatapnya.
“Tentu saja aku kenal Dumbledore, siapa yang
tidak kenal Dumbledore? Tapi ayo – aku tidak bisa membantu apa-apa kalau mereka
kembali, aku tak pernah melakukan lebih baik daripada waktu mentransfigurasi
tehcelup.”
Dia membungkuk, memegang satu lengan Dudley
yang padat dengan tangannya yang keriput dan menghelanya.
“Ayo bangun, dasar gendut tak berguna,
bangun!”
Tapi Dudley entah tidak bisa atau tidak mau,
samasekali tidak bergerak. Ia tetap di tanah, gemetar, wajahnya berdebu, dan
bibirnya mengatup rapat.
“Biar saya saja,” Harry mengambil alih lengan
Dudley dan mengangkatnya. Dengan usaha yang luar biasa ia berhasil
mengangkatnya hingga berdiri. Dudley kelihatannya masih pingsan. Mata kecilnya
berputar-putar dan keringat membahasahi wajahnya; saat Harry melepaskannya, ia
oleng.
“Cepat!” kata Nyonya Figg histeris.
Harry menarik salah satu lengan besar Dudley
ke bahunya dan menariknya berjalan. Nyonya Figg tertatih-tatih di depan mereka,
melirik curiga ke setiap sudut.
“Tetap keluarkan tongkatmu,” katanya pada
Harry, begitu mereka memasuki Wisteria Walk.
“Tak usah pedulikan Undang-undang Kerahasiaan Sihir sekarang, neraka
taruhannya, kita seperti telur di ujung tanduk. Ngomong-ngomong soal Pembatasan
Masuk Akal bagi Penyihir di Bawah-umur, persis seperti yang ditakutkan
Dumbledore – Apa itu di ujung jalan? Oh, cuma Tuan Prentice... jangan jauhkan
tongkatmu, Nak, aku kan sudah bilang aku ini tidak akan banyak berguna?”
Tidak mudah untuk memegang tongkat dan
menggotong Dudley dalam waktu bersamaan. Harry menyodok tulang rusuk sepupunya
itu dengan tidak sabar, tetapi kelihatannya Dudley sudah kehilangan seluruh
hasratnya untuk berjalan sendiri. Dia merosot dari bahu Harry, dan kakinya yang
besar terseret-seret di sepanjang jalan.
“Kenapa Anda tidak pernah bilang kalau Anda
ini Squib, Nyonya Figg?” tanya Harry, terengah-engah berusaha tetap berjalan.
“Setiap kali saya melewati rumah Anda – kenapa Anda tidak bilang apa-apa?”
“Perintah Dumbledore. Aku harus mengawasimu
tapi tidak boleh bilang apa-apa, kau masih terlalu muda. Maaf aku membuatmu tak
nyaman, Harry, tapi keluarga Dursley tidak akan mengijinkanmu datang kalau
mereka pikir kau menikmatinya. Kau tahu, itu tidaklah gampang... tapi ya
ampun,” katanya sedih, “Begitu Dumbledore mendengar ini semua – bagaimana
Mundungus pergi saat seharusnya ia bertugas sampai tengah malam – di mana
dia? Bagaimana aku memberitahu Dumbledore apa yang telah terjadi? Aku tidak
bisa ber-apparate.”
“Saya punya burung hantu, Anda bisa
meminjamnya.” Harry mengerang, bertanya-tanya apakah tulang punggungnya akan
patah karena berat badan Dudley.
“Harry, kau tidak mengerti! Dumbledore perlu
bertindak secepat mungkin. Kementerian Sihir punya cara sendiri untuk
mendeteksi pemakaian sihir di bawah-umur, mereka pasti sudah tahu, lihat saja.”
“Tapi saya kan mengusir Dementor, saya harus
menggunakan sihir – pastinya kan mereka akan lebih mengkhawatirkan soal apa
yang Dementor lakukan melayang-layang di Wisteria Walk?”
“Oh, Anakku, kalau saja memang begitu, tapi
aku khawatir – MUNDUNGUS FLETCHER, AKU AKAN MEMBUNUHMU!”
Terdengar suara nyaring dan bau menyengat
minuman bercampur tembakau apak memenuhi udara, seiring dengan seorang pria tak
bercukur dan mengenakan mantel compang-camping muncul tepat di hadapan mereka.
Ia memiliki kaki yang pendek dan bengkok, rambut panjang berantakan berwarna
kemerah-merahan, mata berkantong yang memberi kesan muram seperti seekor anjing
basset (anjing pemburu bertelinga panjang berkaki pendek). Ia juga menggenggam
bundel keperakan yang segera dikenali Harry sebagai Mantel Menghilang.
“Ada apa, Figgy?” katanya, menatap ke Nyonya
Figg, ke Harry, kemudian ke Dudley. “Katanya sedang menyamar.”
“Menyamar mbahmu!” jerit Nyonya Figg.
“Dementor, tahu!”
“Dementor?” ulang Mundungus, terperanjat.
“Dementor, di sini?”
“Iya di sini, dasar kau tidak berguna, di
sini!” jerit Nyonya Figg. “Dementor menyerang anak itu di bawah jam
pengawasanmu!”
“Ya ampun,” kata Mundungus lemah, melihat ke
Nyonya Figg, kemudian ke Harry, kemudian ke Nyonya Figg lagi. “Ya ampun, aku –“
“Dan kau pergi untuk membeli cauldron curian!
Aku kan sudah bilang jangan pergi? Ingat tidak?”
“Aku – ya, aku –“ Mundungus tampak sangat
gelisah. “Begini – itu – itu – sebuah peluang bisnis yang bagus –“
Nyonya Figg mengangkat lengannya, dan
tasnyapun mengayun menampar wajah dan leher Mundungus; dari suara klontangnya
kelihatannya tas itu berisi penuh oleh makanan kucing kalengan.
“Aduh – aduh – dasar nenek tua! Seseorang
harus kasih tahu Dumbledore!”
“Ya – harusnya!” teriak Nyonya Figg,
mengayunkan tas penuh makanan kucing itu ke arah Mundungus. “Dan – harusnya –
kau –supaya – kau – bisa – beritahu – dia – kenapa – kau – tidak – ada – untuk
– menolong!”
“Iya, iya!” kata Mundungus, lengannya
melindungi kepalanya. “Aku pergi! Aku pergi!”
Dan dengan sebuah suara nyaring, ia
menghilang.
“Kuharap Dumbledore membunuhnya!” kata
Nyonya Figg marah. “Sekarang ayo, Harry, apa lagi yang kautunggu?”
Harry memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan
nafasnya untuk mengatakan betapa susahnya berjalan di bawah Dudley. Ia
menghentakkan Dudley yang setengah tak sadar itu dan menariknya.
“Akan kuantar kau sampai pintu,” kata Nyonya
Figg. “Jaga-jaga kalau-kalau masih ada teman-teman mereka... ya ampun,
benar-benar... dan kau harus melawan mereka sendiri... dan Dumbledore bilang
kami harus menjagamu supaya tidak menggunakan sihir apapun resikonya... ya, apa
boleh buat nasi sudah jadi bubur... tapi sekarang malah ada masalah.”
“Jadi,” Harry tersengal, “Dumbledore... sudah
mengatur... agar aku diawasi?”
“Ya, tentu saja,” kata Nyonya Figg tidak
sabar. ”Apa kaukira dia akan membiarkanmu keliaran sendirian setelah apa yang
terjadi Juni lalu? Ya Tuhan, Anakku, mereka bilang kau cerdas... ya benar...
masuk dan tetaplah di dalam,” katanya, begitu mereka tiba di rumah nomor empat.
“Kuharap seseorang akan menghubungimu secepatnya.”
“Apa yang akan Anda lakukan?” tanya Harry
cepat.
“Aku akan langsung ke rumah,” kata Nyonya
Figg, menatap sekeliling. “Aku harus menunggu perintah selanjutnya. Tetaplah di
dalam rumah. Selamat malam.”
“Tunggu! Jangan pergi dulu! Saya ingin tahu
–“
Tapi Nyonya Figg sudah beranjak dari sana
dengan selopnya dan tas berkelontangan.
“Tunggu!” Harry berteriak padanya. Ia punya
sejuta pertanyaan untuk siapa saja yang punya hubungan dengan Dumbledore; tapi
dalam beberapa detik saja Nyonya Figg sudah tertelan oleh kegelapan. Dengan
kesal, Harry memperbaiki letak Dudley di bahunya dan mulai melangkah pelan
menaiki tangga rumah nomor empat.
Lampu depan menyala. Harry memasukkan kembali
tongkatnya ke balik celana jinsnya,
memencet bel, dan melihat sosok Bibi Petunia yang membesar dan membesar,
meliuk-liuk aneh karena kaca pendar di pintu depan.
“Diddy! Untung saja, aku sudah sangat –
sangat – Diddy, apa yang terjadi?”
Harry melihat pada Dudley dan menyingkir
tepat pada waktunya. Dudley oleng sesaat... wajahnya hijau pucat... kemudian
dia membuka mulutnya dan memuntahi keset.
“DIDDY! Diddy, kau kenapa? Vernon! VERNON!”
Paman Harry datang dari ruang tengah dengan
langkah berdebam-debam, kumis anjing lautnya mengembang kian kemari seperti
biasanya setiap kali ia bergerak. Ia cepat-cepat membantu Bibi Petunia yang
sibuk dengan Dudley yang lemas, melewati pintu sambil menghindari muntahan
Dudley.
“Dia sakit, Vernon!”
“Kenapa, Nak? Apa yang telah terjadi? Apa
Nyonya Polkiss memberimu teh dengan ramuan asing?”
“Kenapa kau kotor sekali, sayang? Apa kau
telah berbaring di jalanan?”
“Tunggu dulu – jangan-jangan – kau tidak
habis dipalak, kan, Nak?”
Bibi Petunia menjerit.
“Telepon polisi, Vernon! Telepon polisi!
Diddy sayang, ayo bilang sama Mummy! Apa yang mereka lakukan padamu?”
Dalam keributan itu, sepertinya tak
seorangpun yang memperhatikan Harry, persis seperti harapannya. Ia berhasil
menyelinap masuk sebelum Paman Vernon membanting pintu dan, sementara para
Dursley itu dengan ribut menuju dapur, Harry melangkah hati-hati tanpa suara
menuju tangga.
“Siapa yang melakukannya, Nak? Baritahu kami,
Kami akan menangkap mereka, jangan khawatir.”
“Ssst! Dia sedang berusaha mengatakan
sesuatu, Vernon! Apa, Diddy? Bilang ke Mummy!”
Kaki Harry sudah ada di anak tangga paling
bawah ketika Dudley berhasil bersuara.
“Dia.”
Harry membeku, kaki di tangga, wajah
mengeras, menegang seperti bersiap-siap untuk sebuah ledakan ranjau.
“KAU! KE SINI!”
Dengan perasaan takut bercampur marah, Harry
menyingkirkan kakinya dari tangga dan berbalik mengikuti keluarga Dursley.
Dapur yang bersih sempurna itu tampak
berkilau aneh setelah kegelapan di luar. Bibi Petunia mengantar Dudley duduk di
kursi; dia masih sangat hijau dan
tampak lembab. Paman Vernon berdiri di depan papan pengering, menatap Harry
melalui matanya yang kecil dan sempit.
“Apa yang telah kaulakukan pada anakku?”
katanya dengan geraman mengancam.
“Tidak ada,” kata Harry, tahu benar bahwa
Paman Vernon tak akan percaya.
“Apa yang dia lakukan padamu, Nak?” Bibi
Petunia berkata dengan suara bergetar, mengelap muntahan di bagian depan jaket
kulit Dudley. “Apa – apakah – yang-kau-tahu-apa, Sayang? Apakah dia tadi
menggunakan – itunya?”
Perlahan, Dudley mengangguk.
“Tidak!” Harry berkata tajam, sementara Bibi
Petunia meraung dan Paman Vernon mengangkat tinjunya. “Aku tidak melakukan
apa-apa padanya! Tadi itu bukan aku, itu –“
Namun tepat pada saat itu seekor burung hantu
meluncur masuk melalui jendela dapur. Tipis di atas kepala Paman Vernon,
terbang menyeberangi dapur, menjatuhkan amplop perkamen besar yang dibawanya
diparuhnya ke kaki Harry, berbalik dengan anggun, ujung sayapnya baru saja
menyapu puncak lemari es, kemudian meluncur ke luar dan pergi menyeberangi
taman.
“BURUNG HANTU!” lenguh Paman Vernon,
urat-urat di dahinya menegang karena marah seraya ia membanting jendela dapur.
“BURUNG HANTU LAGI! AKU TIDAK AKAN MENGIJINKAN ADA BURUNG HANTU LAGI DI
RUMAHKU!”
Tetapi Harry sudah menyobek amplop dan
mengeluarkan surat di dalamnya, jantungnya berdegup keras di suatu tempat di
sekitar jakunnya.
Tuan Potter yang terhormat,
Kami telah menerima kabar bahwa Anda telah
menggunakan Jimat Patronus pada pukul sembilan lewat duapuluhtiga menit malam
ini di lingkungan Muggle dan dengan kehadiran Muggle.
Dengan pelanggaran berat atas Dekrit
Pembatasan Masuk Akal bagi Penyihir di Bawah-umur ini, kami memutuskan
pengeluaran Anda dari Sekolah Sihir Hogwarts. Utusan kementerian akan segera
datang ke tempat tinggal Anda untuk menghancurkan tongkat Anda.
Sebagaimana Anda telah menerima peringatan
atas pelanggaran terdahulu atas Peraturan ke-13 Konfederasi Internasional
Undang-undang Kerahasiaan Sihir, dengan berat hati kami memberitahukan bahwa
kehadiran Anda diharapkan pada pengadilan yang akan diselenggarakan di Kementerian
Sihir pada tanggal duabelas Agustus.
Semoga baik-baik saja,
Hormat kami,
Mafalda Hopkirk
Kantor Penyalahgunaan Sihir
Kementerian Sihir
Harry membaca surat itu
sebanyak dua kali. Ia hanya samar-samar mendengar ucapan Paman Vernon dan Bibi
Petunia. Di dalam kepalanya, semuanya dingin dan beku. Hanya satu hal yang
merasuki kesadarannya seperti anak panah yang membekukan. Dia dikeluarkan dari
Hogwarts. Berakhirlah sudah. Dia tidak akan pernah kembali.
Ia memandang keluarga Dursley. Paman Vernon
berwajah ungu, berteriak, tinjunya masih teracung; Bibi Petunia melingkarkan
lengannya ke bahu Dudley, yang menjeluak lagi.
Otak Harry yang terbius sesaat tadi
kelihatannya kembali bangun. Utusan kementerian akan segera datang ke tempat
tinggal Anda untuk menghancurkan tongkat Anda. Hanya ada satu hal mengenai
ini. Dia harus lari – sekarang. Akan ke mana tujuannya, Harry tidak tahu, tapi
ia yakin akan satu hal: baik di Hogwarts ataupun bukan, dia membutuhkan
tongkatnya. Nyaris seperti orang setengah mimpi, ia menarik tongkatnya dan
berbalik untuk meninggalkan dapur.
“Mau kemana kau?” bentak Paman Vernon. Ketika
Harry tak menjawab, Paman Vernon berdebum menyeberangi dapur untuk menghalangi
pintu menuju lorong. “Urusanku denganmu belum selesai, nak!”
“Menyingkirlah,” kata Harry pelan.
“Kau harus tetap di sini dan menjelaskan
bagaimana anakku –“
“Kalau tidak menyingkir, aku akan
mengutukmu,” kata Harry mengacungkan tongkatnya.
“Kau tidak bisa melakukannya padaku,” geram
Paman Vernon, “Aku tahu kau tidak boleh menggunakannya di luar rumah sinting
yang kausebut sekolah itu!”
“Rumah sinting itu sudah membuangku!” kata
Harry. “Jadi aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Paman punya tiga detik.
Satu – dua –“
Suara nyaring lagi memenuhi dapur. Bibi
Petunia menjerit, Paman Vernon berteriak dan menunduk, tapi untuk ketiga
kalinya malam itu Harry mencari-cari sumber suara yang tidak dibuatnya itu. Dan
ia segera menemukannya; seekor burung hantu yang tampak bingung dan berkerut,
duduk di luar ambang dapur, menyatu dengan jendela yang tertutup.
Tanpa menghiraukan teriak ketakutan Paman
Vernon “BURUNG HANTU!” Harry berlari melintasi ruangan dan menyentakkan jendela
hingga terbuka. Burung hantu itu mengeluarkan kakinya, dimana segulung kecil
perkamen telah diikatkan, menggoyangkan bulunya, dan segera pergi begitu Harry
telah mengambil suratnya. Dengan tangan gemetar, Harry membuka pesan kedua,
yang tampak ditulis dengan sangat buru-buru dan penuh noda tinta hitam.
Harry –
Dumbledore baru saja tiba di Kementerian dan sedang
berusaha mengurus ini. JANGAN TINGGALKAN RUMAH PAMAN DAN BIBIMU. JANGAN LAGI
MENGGUNAKAN SIHIR. JANGAN SERAHKAN TONGKATMU.
Arthur Weasley
Dumbledore sedang berusaha
mengurusnya... apa maksudnya? Seberapa besar kekuatan Dumbledore untuk tidak
mengindahkan Kementerian Sihir? Kalau begitu, apa ada kemungkinan dia akan bisa
kembali ke Hogwarts? Sepotong tunas harapan tumbuh cepat di dada Harry, hampir
tercekik karena panik – bagaimana dia mesti menolak menyerahkan tongkatnya
tanpa sihir? Dia pastinya harus berduel dengan utusan kementerian, dan kalau
dia melakukannya, boro-boro bisa lolos dari pengusiran itu, dia akan beruntung
kalau bisa lolos dari Azkaban.
Pikirannya berpacu... dia bisa saja lari
dengan resiko utusan kementerian akan menemukannya, atau tetap tinggal dan
menunggu mereka di sini. Ia jelas lebih tertarik pada pilihan pertama, tapi ia
tahu bahwa Tuan Weasley sangat mengkhawatirkannya... dan lagipula; Dumbledore
pernah mengurus hal-hal yang jauh lebih buruk dari ini.
“Baiklah,” kata Harry, “Aku berubah pikiran.
Aku akan tinggal.”
Ia mendudukkan dirinya ke meja dapur
berhadapan dengan Dudley dan Bibi Petunia. Keluarga Dursley kelihatan heran
dengan perubahan keputusan yang tiba-tiba itu. Bibi Petunia memandang dengan
putus asa pada Paman Vernon. Urat di keningnya yang ungu menegang lebih buruk
dari biasanya.
“Dari siapa burung-burung hantu itu tadi?”
geram Paman Vernon.
“Yang pertama dari Kementerian Sihir,
mengeluarkan aku,” kata Harry tenang. Ia menajamkan telinganya untuk menangkap
suara apa saja dari luar, kalau-kalau utusan kementerian mendekat, dan lebih
mudah untuk menjawab pertanyaan Paman Vernon daripada mendapatinya murka dan
menggerung. “Yang kedua dari ayah temanku Ron, yang bekerja di Kementerian.”
“Kementerian Sihir?” lenguh Paman Vernon.
“Orang-orang seperti kalian punya pemerintahan? Oh, pantas, semua, semuanya
jadi jelas, kenapa negara ini berubah menjadi kacau.”
Ketika Harry tidak merespon, Paman Vernon
mendelik padanya, kemudian menyembur, “Dan kenapa kau dikeluarkan?”
“Karena aku menggunakan sihir.”
“AHA!” raung Paman Vernon, menghantamkan
tinjunya ke puncak lemari es, yang segera membuka; beberapa snack rendah lemak
milik Dudley tumpah keluar dan berserakan di lantai. “Jadi kau mengakuinya! Apa
yang sudah kaulakukan pada Dudley?”
“Tidak ada,” kata Harry, sedikit tidak
terlalu tenang. “Bukan aku –“
“Itu kau,” kata Dudley tak terduga,
dan Paman Vernon dan Bibi Petunia memberi isyarat pada Harry agar dia diam
sementara mereka menunduk ke arah Dudley.
“Teruskan, nak,” kata Paman Vernon. “Apa yang
dia lakukan padamu?”
“Beritahu kami, sayang,” bisik Bibi Petunia.
“Mengacungkan tongkatnya padaku,” gumam
Dudley.
“Yeah, memang, tapi aku tidak –“ Harry mulai
marah, tetapi –
“DIAM!”geram Paman Vernon dan Bibi Petunia
bersamaan.
“Teruskan, nak,” ulang Paman Vernon, kumisnya
bergerak-gerak.
“Semuanya jadi gelap,” kata Dudley serak,
gemetar, “Semuanya jadi gelap. Dan kemudian aku men-mendengar... sesuatu. Di
dalam ke-kepalaku.”
Paman Vernon dan Bibi Petunia bertukar
pandang dengan ngeri. Jika hal yang paling tidak disukai mereka adalah sihir –
diikuti dengan tetangga yang bisa mencurangi pelarangan selang air lebih dari
mereka – maka orang yang mendengar suara-suara di kepala tentulah jelas berada
di urutan kesepuluh. Mereka kelihatan jelas mengira Dudley sudah kehilangan
akal sehat.
“Apa yang kaudengar, Popkin?” bisik Bibi
Petunia, wajahnya pucat pasi dengan airmata di matanya.
Tapi Dudley kelihatannya tidak dapat
berkata-kata. Ia gemetar lagi, dan menggelengkan kepalanya yang pirang, dan
kecuali perasaan beku yang dirasakan Harry sejak tibanya burung hantu pertama,
ia merasakan keingintahuan. Dementor menghidupkan kembali saat-saat terburuk
dalam hidupmu. Apa yang telah si manja Dudley dengar hingga ia bisa ketakutan?
“Bagaimana kau bisa jatuh, nak?” kata Paman
Vernon, dengan suara hening yang tidak wajar, seperti suara yang diperdengarkan
oleh orang yang menjenguk orang yang sakit parah.
“Tersandung,” kata Dudley, gemetar. “Kemudian
–“
Ia bergidik. Harry mengerti. Dudley sedang
mengingat saat dingin mengisi paru-paru seolah-olah harapan dan kebahagiaan
dihisap darimu.
“Mengerikan,” cicit Dudley. “Dingin. Sangat
dingin.”
“Oke,” kata Paman Vernon dengan suara tenang
yang dipaksakan, sementara Bibi Petunia dengan cemas meletakkan tangannya ke
dahi Dudley untuk memeriksa suhunya. “Kemudian apa yang terjadi, Dudders?”
“Aku merasa... aku merasa... merasa...
seakan-akan... seperti...”
“Seperti kau takkan pernah merasakan kebahagiaan
lagi,” bantu Harry.
“Ya,” bisik Dudley, masih gemetar.
“Jadi!” kata Paman Vernon, suaranya kembali
keras dengan dia menegakkan punggungnya. “Kau memberikan mantra gila ke anakku
sehingga dia mendengar suara-suara dan percaya bahwa dia – dikutuk dalam
kesengsaraan, begitu?”
“Berapa kali aku harus bilang?” kata Harry,
baik emosi maupun suaranya meninggi. “Itu bukan aku! Itu tadi sepasang
Dementor!”
“Sepasang – apa?”
“De – men – tor,” kata Harry dengan perlahan
dan jelas. “Dua.”
“Dan apa itu Dementor?”
“Mereka menjaga penjara penyihir, Azkaban,”
kata Bibi Petunia.
Selama dua detik keheningan memenuhi ruangan
sebelum Bibi Petunia menutup mulutnya dengan tangan seolah-olah dia baru saja
kelepasan mengucapkan sumpah mengerikan. Paman Vernon menjuling padanya. Kepala
Harry pening. Ny. Figg adalah satu hal – tapi Bibi Petunia?
“Bagaimana Bibi bisa tahu?” tanyanya, heran.
Bibi Petunia kelihatan terkejut dengan
dirinya sendiri. Ia memandang Paman Vernon dengan perasaan bersalah, kemudian
menurunkan tangannya sedikit untuk memperlihatkan gigi kudanya.
“Aku dengar – anak itu – mengatakan padanya
tentang mereka – bertahun-tahun lalu,” katanya terbata-bata.
“Kalau yang bibi maksud ibu dan ayahku,
kenapa tidak sebut saja nama mereka?” kata Harry keras, tapi Bibi Petunia
mengacuhkannya. Ia tampak sangat gugup.
Harry sangat takjub. Kecuali letusan beberapa
tahun lalu yang menyebabkan Bibi Petunia meneriakkan bahwa ibunya adalah orang aneh,
ia tidak pernah mendengarnya menyebut-nyebut saudaranya. Ia heran bagaimana
bibinya masih mengingat informasi kecil tentang dunia sihir yang didengarnya
bertahun-tahun lalu, saat biasanya ia menghabiskan energinya untuk berpura-pura
bahwa dunia semacam itu tidak ada.
Paman Vernon membuka mulutnya, menutupnya
lagi, membukanya, menutupnya lagi; kelihatannya berjuang untuk mengetahui
bagaimana caranya berbicara, membuka mulut untuk ketigakalinya dan mencicit,
“Ja – jadi – mereka – ng – mereka ini – benar-benar ada, apa – ng – mereka –
dementity?”
Bibi Petunia mengangguk.
Paman Vernon melihat ke Bibi Petunia, ke
Dudley, ke Harry, berharap seseorang akan berteriak ‘April Mop!’. Ketika tak
ada satupun yang berteriak demikian, ia membuka mulutnya lagi, berusaha keras
mencari kata-kata tepat bersamaan dengan munculnya burung hantu ketiga di malam
itu. Ia meluncur melalui jendela dapur yang masih terbuka seperti cannon-ball
berbulu dan mendarat berkelepak di atas meja dapur, menyebabkan ketiga Dursley
terlompat takut. Harry merenggut amplop yang kelihatannya resmi itu dari paruh
si burung hantu, dan merobeknya sementara si burung hantu berbalik terbang ke
kegelapan.
“Cukup – dengan – burung hantu,” gumam Paman
Vernon, bingung, melompat ke jendela dan membantingnya hingga menutup.
Tuan
Potter yang terhormat,
Menyikapi
surat kami yang terkirim sekitar duapuluhdua menit yang lalu, Kementerian Sihir
telah merevisi keputusannya untuk menghancurkan tongkat Anda saat ini juga.
Anda dapat menyimpan tongkat Anda sampai pengadilan pada tanggal duabelas
Agustus, di mana pada waktu itu keputusan resmi akan diambil.
Sehubungan
dengan pembicaraan dengan Kepala Sekolah Sihir Hogwarts, kementerian telah
setuju untuk menunda keputusan pengeluaran Anda dari sana pada tanggal tersebut.
Untuk itu Anda masih harus menunggu hingga keputusan diambil.
Hormat
kami,
Mafalda
Hopkirk
Kantor Penyalahgunaan Sihir
Kementerian Sihir
Harry membaca surat itu tiga kali
berturut-turut dengan cepat. Beban di dadanya berkurang sedikit mengetahui
bahwa ia belumlah benar-benar dikeluarkan, walau entah kenapa ketakutannya
menghalau. Segalanya sepertinya akan bergantung pada pengadilan tanggal
duabelas Agustus itu.
“Nah?” Paman Vernon menyadarkannya dari
sekelilingnya. “Sekarang apa lagi? Apa mereka menyatakan sesuatu? Apa mereka
akan memberikan hukuman mati?” ia menambahkan.
“Aku harus menghadiri pengadilan,” kata
Harry.
“Mereka akan memutuskannya saat itu?”
“Kurasa begitu.”
“Aku masih punya harapan kalau begitu,” kata
Paman Vernon dengan nada berbahaya.
“Nah, kalau begitu,” kata Harry, bangkit. Ia
ingin sekali bisa sendirian, untuk berpikir, mungkin untuk mengirinkan surat ke
Ron, Hermione, atau Sirius.
“OH TIDAK, TIDAK!” lenguh Paman Vernon,
“DUDUK KEMBALI!”
“Apa lagi?” kata Harry tidak sabar.
“DUDLEY!” geram Paman Vernon. “Aku mau tahu
apa yang sebenarnya terjadi pada anakku!”
“BAIK!” teriak Harry, dengan emosinya, kerlip
merah dan perak muncul dari tongkatnya. Ketiga Dursley terlonjak takut.
“Dudley dan aku sedang berjalan di gang antara
Magnolia Crescent dan Wisteria Walk,” kata Harry cepat, berusaha mengatur
emosinya. “Dudley pikir dia bisa macam-macam denganku, aku keluarkan tongkatku
tapi aku tidak menggunakannya. Kemudian dua Dementor muncul –“
“Tapi apa itu Dementoid?” tanya Paman Vernon
marah. “Apa yang mereka LAKUKAN?”
“Sudah kubilang – mereka menghisap semua
kebahagiaan dari dirimu,” kata Harry, ‘dan begitu mereka mendapat kesempatan,
mereka akan mengecupmu –“
“Mengecupmu?” mata Paman Vernon mengerjap.
“Mengecup?”
“Itu sebutannya jika mereka menghisap jiwamu
dari mulutmu.”
Bibi Petunia menjerit lemah.
“Jiwanya? Dia tidak – dia kan masih –“
Ia menarik bahu Dudley dan mengguncangkannya,
seolah mengecek apakah masih ada suara dari dalamnya.
“Tentu saja mereka tidak mengambil jiwanya,
kalian akan tahu kalau mereka berhasil,” kata Harry jengkel.
“Kau lawan mereka, kan, nak,” kata Paman
Vernon, seperti hendak mengembalikan pembicaraan ke apa yang dipahaminya. “Kau
beri mereka jurus kuno satu-dua itu, kan?”
“Kau tidak bisa memberi mereka jurus kuno
satu-dua,” kata Harry melalui gertakkan giginya.
“Kalau begitu kenapa dia baik-baik saja?”
sembur Paman Vernon. “Kenapa dia masih utuh?”
“Sebab aku gunakan Patronus –“
WHUUZ. Dengan sebuah kepakan sayap dan
debu-debu halus berjatuhan, burung hantu keempat keluar dari perapian dapur.
“DEMI TUHAN!” geram Paman Vernon, mencabut
kumisnya, sesuatu yang sudah lama tidak dilakukannya. “AKU TAK MAU ADA BURUNG
HANTU DI SINI, AKU TAK AKAN IJINKAN, KAU DENGAR!”
Tapi Harry sedang menarik segulung perkamen
dari kaki burung hantu itu. Ia begitu yakin bahwa surat itu pasti dari
Dumbledore, menjelaskan semuanya – soal Dementor, Nyonya Figg, apa yang
dilakukan kementerian, apa yang ia, Dumbledore, lakukan untuk mengatasinya –
hingga untuk pertama kali dalam hidupnya ia kecewa melihat tulisan tangan
Sirius. Tanpa mempedulikan sumpah serapah Paman Vernon tentang burung hantu dan
debu yang disebabkan oleh terbangnya burung hantu tadi di perapian, Harry
membaca pesan Sirius.
Arthur baru saja memberitahu kami apa yang
terjadi. Apapun yang kaulakukan, jangan tinggalkan rumah.
Harry merasa ini bukanlah respon yang layak
atas apa yang terjadi malam ini hingga iapun membalikkan perkamen itu, untuk
melihat apakah masih ada kelanjutannya, tapi tidak apa-apa lagi selain itu.
Dan sekarang emosinya naik lagi. Apa tak
seorangpun yang mau mengatakan ‘bagus, nak!’ setelah melawan dua Dementor
sendirian? Pak Weasley dan Sirius bersikap seolah-olah dia ini anak nakal,
mereka seolah sedang menyimpan kritikan mereka nanti sampai mereka selesai
melihat seberapa besar kerusakan yang telah diakibatkannya.
“... patukan (=peck), maksudku, sekawanan
(=pack) burung hantu keluar masuk rumahku, aku tak mau, aku –“
“Aku tak bisa mencegah datangnya burung
hantu,” Harry menggertak, meremas surat Sirius dalam kepalannya.
“Aku ingin kebenaran atas apa yang telah
terjadi malam ini!” gerung Paman Vernon. “Kalau Demender yang menyakiti Dudley,
kenapa kau dikeluarkan? Kau menggunakan kau-tahu-apa, kau sudah mengakuinya!”
Harry menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya
sakit lagi. Tak ada yang lebih diinginkannya selain keluar dari dapur,
menyingkir dari keluarga Dursley.
“Aku menggunakan Jimat Patronus untuk
menyingkirkan mereka,” kata Harry berusaha untuk tetap tenang. “Hanya itu yang
dapat melawan mereka.”
“Tapi apa yang Dementoid lakukan di Little
Whinging?” kata Paman Vernon dengan nada mencemooh.
“Mana aku tahu,” kata Harry. “Entahlah.”
Kepalanya terasa pening. Kemarahannya telah
surut. Ia merasa terkuras, lelah. Keluarga Dursley menatapnya.
“Kau,” kata Paman Vernon dengan kuat. “Pasti
ada hubungannya dengan kau, kan, aku tahu itu. Kenapa lagi mereka ada di sini?
Kenapa lagi mereka muncul di gang itu? Kaulah satu-satunya – satu-satunya –“ Kelihatan
sekali, ia tidak bisa menyebutkan kata ’penyihir’. “Kau satu-satunya
kau-tahu-apa bermil-mil di sekitar sini.”
“Aku tidak tahu kenapa mereka di sini.”
Tapi karena perkataan Paman Vernon, otak
Harry yang lelah telah kembali bekerja. Kenapa Dementor datang ke Little
Whinging? Apa cuma kebetulan mereka muncul di gang tepat di mana Harry berada?
Apa mereka telah dikirim? Apa Kementerian Sihir telah kehilangan kontrol
atas para Dementor? Apa mereka telah meninggalkan Azkaban dan bergabung dengan
Voldemort, sebagaimana telah diperkirakan Dumbledore?
“Para Demember ini, mereka menjaga semacam
penjara, kan?” tanya Paman Vernon, terdengar kikuk.
“Ya,” kata Harry.
Kalau saja kepalanya berhenti
berdenyut-denyut, kalau saja dia bisa pergi dari dapur dan kembali ke kamarnya
yang gelap dan berpikir...
“Oho! Kalau begitu mereka pasti kemari untuk
menangkapmu,” kata Paman Vernon, dengan nada kemenangan seolah ia telah
mencapai keputusan final yang tidak dapat diperdebatkan lagi. “Begitu kan, nak?
Kau telah lari dari hukum!”
“Tentu saja tidak!” kata Harry, menggelengkan
kepalanya seperti mengusir sesuatu dari kepalanya, pikirannya berpacu sekarang.
“Kalau begitu kenapa –“
“Pasti dia yang mengirim mereka,” kata Harry
pelan, lebih seperti bicara kepada dirinya sendiri daripada kepada Paman
Vernon.
“Apa? Siapa yang pasti mengirim mereka?”
“Lord Voldemort,” kata Harry.
Samar ia merasa betapa anehnya keluarga
Dursley, yang selalu terpekik, mendengking, setiap kali mendengar kata-kata
seperti ‘penyihir’, ‘sihir’, atau ‘tongkat’, bisa mendengar nama penyihir
paling kejam sepanjang masa itu tanpa gemetaran sedikitpun.
“Lord – tunggu,” kata Paman Vernon, wajahnya
keruh, sesuatu yang telah dipahaminya terkesan di mata babinya. “Aku pernah
dengar nama itu... itu orang yang...”
“Membunuh orangtuaku,” kata Harry.
“Tapi dia sudah lenyap,” kata Paman Vernon
tak sabar, tanpa ada sedikitpun tanda rasa pengertian bahwa pembunuhan orangtua
Harry merupakan topik yang menyedihkan. “Si raksasa itu bilang begitu. Dia
lenyap.”
“Dia kembali.” kata Harry dengan berat.
Rasanya aneh berdiri di sini di dapur Bibi
Petunia yang serba bersih higienis, di sisi lemari es termutakhir dan televisi
layar lebar, membicarakan dengan santai soal Lord Voldemort dengan Paman
Vernon. Kemunculan Dementor sepertinya telah meruntuhkan dinding besar tak
terlihat yang memisahkan dunia kejam tak berperasaan Privet Drive dengan dunia
di seberangnya. Kedua dunia Harry itu sepertinya telah bercampur baur dan
semuanya berjungkir balik; keluarga Dursley menanyakan hal-hal seputar dunia
sihir, Nyonya Figg kenal Albus Dumbledore, Dementor melayang di sekitar Little
Whinging, dan dia mungkin tidak dapat kembali ke Hogwarts. Harry merasakan
kepalanya tertusuk-tusuk lebih menyakitkan.
“Kembali?” bisik Bibi Petunia.
Ia memandang Harry seolah-olah ia belum
pernah memandang Harry sebelumnya. Dan tiba-tiba, untuk pertama kali dalam
hidupnya, Harry melihat Bibi Petunia sebagai saudara ibunya. Ia tidak tahu
mengapa perasaan ini begitu kuat dirasanya saat itu. Yang ia tahu adalah dia
bukanlah satu-satunya orang di ruangan ini yang mengerti apa artinya ‘Lord
Voldemort kembali’. Bibi Petunia belum pernah memandangnya seperti itu
sebelumnya. Matanya yang besar dan pucat (sangat tidak mirip dengan mata
saudaranya) tidak menyipit dengan rasa sebal atau marah, melainkan membelalak
dan ketakutan. Semua dalih yang dipegangteguh olehnya selama ini – bahwa tidak
ada yang namanya sihir dan tidak ada dunia selain yang ia dan Paman Vernon
diami saat ini – sepertinya telah runtuh.
“Ya,” kata Harry, sekarang berbicara langsung
ke Bibi Petunia. “Dia kembali sebulan lalu. Aku melihatnya.”
Tangan Bibi Petunia meraih bahu Dudley yang
terbungkus jaket kulit dan meremasnya.
“Tunggu dulu,” kata Paman Vernon, memandang
Bibi Petunia, lalu ke Harry, lalu ke Bibi Petunia lagi, kelihatan jelas merasa
bingung atas pengertian yang terjalin antara keduanya, hal mana belum pernah
terjadi sebelumnya. “Tunggu dulu. Katamu, si Voldymorty ini kembali.”
“Ya.”
“Orang yang telah membunuh orangtuamu.”
“Ya.”
“Dan sekarang dia mengirim Demember untuk
mengejarmu.”
“Kayanya begitu.”
“Begitu, ya,” kata Paman Vernon, melihat dari
wajah pucat istrinya ke Harry dan menyingsingkan celananya. Wajahnya yang lebar
dan keunguan menegang memandang mata Harry. “Kalau begitu sudah kuputuskan,”
katanya, bagian depan kemejanya tertarik saat ia menggembungkan dadanya. “Kau
boleh pergi dari rumah ini, nak!”
“Apa?” kata Harry.
“Kau sudah dengar, kan – KELUAR!” lenguh
Paman Vernon, bahkan Bibi Petunia dan Dudley terlonjak. “KELUAR! PERGI!
Seharusnya sudah kulakukan sejak dulu! Burung-burung hantu menganggap rumah ini
seperti wc, puding meledak, separuh ruang tamu hancur, ekor Dudley, Marge
terbang di langit-langit, dan Ford Anglia terbang itu – PERGI! PERGI! Sudah
cukup! Kau tinggal sejarah! Kau tidak boleh di sini kalau ada orang gila
mengejarmu, kau tidak boleh membahayakan istri dan anakku, kau tidak boleh
membawa-bawa masalah kepada kami. Kalau kau mau bernasib seperti orang tuamu
yang tidak berguna itu, sudah cukup! KELUAR!”
Harry bergeming. Surat dari kementerian, Pak
Weasley, dan dari Sirius, semuanya teremas di tangan kirinya. Jangan
tinggalkan rumah lagi, apapun yang kaulakukan. JANGAN TINGGALKAN RUMAH PAMAN
DAN BIBIMU.
“Kau dengar, kan!” kata Paman Vernon,
membungkuk ke depan, wajahnya yang ungu padat dekat sekali dari wajah Harry; ia
bahkan bisa merasakan semburan ludah di wajahnya. “Ayo pergi! Kau begitu
bersemangat untuk pergi setengah jam lalu! Aku mendukungmu! Pergi dan jangan
pernah muncul di depan pintu kami lagi! Kenapa kami dulu mau mengambilmu, aku
tak tahu. Marge benar, seharusnya kutaruh kau di panti asuhan. Kami terlalu
lunak, kupikir kami bisa mengaturmu, bisa mengembalikanmu jadi orang normal,
tapi kau sudah rusak sejak awal dan sudah cukup bagiku – burung hantu lagi!”
Burung hantu kelima meluncur menuruni
perapian begitu cepatnya dan membentur lantai dulu sedikit sebelum terbang lagi
dengan koakan keras. Harry mengangkat tangannya untuk menggapai surat yang
dibawanya, surat dengan amplop merah, namun burung hantu itu melewati
kepalanya, terbang tepat ke arah Bibi Petunia, yang menjerit dan merunduk,
dengan tangan menutupi wajahnya. Si burung hantu menjatuhkan amplop merah itu
ke tangannya, berbalik, dan segera terbang keluar lewat perapian.
Harry melesat untuk mengambil surat itu, tapi
Bibi Petunia menahannya.
“Bibi boleh membukanya kalau mau,” kata
Harry, “tapi toh aku akan bisa mendengarnya. Itu howler.”
“Buang, Petunia!” geram Paman Vernon. “Jangan
sentuh, bisa jadi berbahaya!”
“Ini untukku,” kata Bibi Petunia dengan suara
bergetar. “Ini untukku, Vernon, lihat! Nyonya Petunia Dursley, Dapur, Nomor
Empat, Privet Drive –“
Ia menahan nafas, ketakutan. Amplop merah itu
mulai berasap.
“Buka!” desak Harry. “Lakukan saja! Nanti toh
terjadi juga!”
“Tidak.”
Tangan Bibi Petunia gemetar. Ia memandang
liar ke sekeliling dapur, mencari cara melarikan diri dari ini, tapi terlambat
– amplop itu berubah menjadi nyala api. Bibi Petunia menjerit dan melemparkannya.
Suara yang mengerikan memenuhi dapur,
bergema, mengalir dari surat yang terbakar di atas meja.
“Ingatlah yang terakhirku, Petunia*).”
Bibi Petunia tampak seperti tidak sadar. Ia
membenamkan dirinya di kursi di sisi Dudley, wajahnya tertutup tangan. Amplop
yang tersisa hangus menjadi abu.
“Apa ini?” Paman Vernon berkata parau. “Apa –
aku tidak – Petunia?”
Bibi Petunia tidak mengatakan apa-apa. Dudley
memandang ibunya dengan pandangan pilon, mulutnya ternganga. Keheningan ini
terasa mencekam. Harry memperhatikan bibinya, kebingungan, kepalanya serasa mau
meledak.
“Petunia, sayang,” kata Paman Vernon dengan
takut-takut. “P-Petunia?”
Bibi Petunia mengangkat kepalanya. Ia masih
gemetaran. Susah payah menelan ludah.
“Anak itu – anak itu harus tetap tinggal di
sini, Vernon,” katanya lemah.
“A-apa?”
“Dia tetap di sini,” katanya. Ia tidak
melihat ke arah Harry, ia berdiri.
“Dia... tapi Petunia...”
“Kalau kita mengusirnya, para tetangga akan
bertanya-tanya,” katanya. Ia berusaha untuk kembali ke gaya bicaranya yang
pedas seperti biasanya, walaupun wajahnya masih sangat pucat. “Mereka akan
usil, mereka akan bertanya ke mana dia pergi. Kita harus tetap menahannya di
sini.”
Paman Vernon kempes seperti ban tua.
“Tapi Petunia, sayang –“
Bibi Petunia mengabaikannya. Ia berpaling ke
Harry.
“Kau tetaplah di kamarmu,” katanya. “Kau
tidak akan pergi dari rumah ini. Sekarang pergi tidur.”
Harry tidak bergerak.
“Dari siapa howler itu?”
“Jangan tanya-tanya,” sengat Bibi Petunia.
“Apa bibi berhubungan dengan penyihir?”
“Kubilang pergi tidur!”
“Apa maksudnya? Ingatlah yang terakhir apa?”
“Tidur!”
“Bagaimana bisa –“
“KAU DENGARKAN BIBIMU, PERGI KE ATAS DAN
TIDUR!”
~ BAB 2 SELESAI ~
*) Bunyi howler itu
“Remember my last, Petunia”, apa padanan yang tepat, saya tidak tahu. Di akhir
buku kelima ini, tentu saja akan terungkap siapa dan apa maksud dari kalimat
tersebut (hm... kejutan yang cukup bikin saya merinding dan sedikit bersimpati
sama Bibi Petunia), tetap saja susah bagi saya untuk mencari padanannya selain
“Ingatlah yang terakhirku, Petunia”. Mungkin harusnya “Ingat perkataanku yang
dulu, Petunia”, ya? Ups! No spoiler! (^_^)
[<<
ke bab sebelumnya] [ke bab selanjutnya >>]