HARRY POTTER DAN ORDO PHOENIX*)

 

PERHATIAN

Terjemahan berikut adalah terjemahan tidak resmi, dan karenanya saya tidak dapat menarik keuntungan materi apapun darinya.

Terjemahan berikut akan dihentikan dan dihapus dari server begitu terjemahan resminya keluar di pasaran, jadi belilah terjemahan resmi tersebut!

Hargailah hak cipta dan kode etik penerjemah amatir dengan tidak mengedarkan terjemahan berikut secara komersial.

Jika Anda ingin meletakkan terjemahan berikut pada situs pribadi Anda, mohon tidak menghapus bagian PERHATIAN ini, serta tidak mengubah terjemahan. Anda boleh mengubah layout dan tampilan, tapi TIDAK untuk isinya. Sangat diharapkan Anda memberi link ke https://hibiworks.tripod.com/harrypotter/

 

TTD

Penerjemah

============================================================================

ATTENTION

This below translation is an unauthorized translation, and so I’m not in any position in taking any material advantages.

This below translation will be stopped from processing and will be deleted from server as soon as the authorized translation is released, so buy the authorized one!

Respect copyrights and the ethic of amateur translator by not spreading this below translation in any commercial matter.

If you wish to put this below translation into your personal webpages, please do not remove this ATTENTION, and do not change the translation. You may change the layout and the look to fit your webpages, but NOT the content. It is desirable that you put a link to https://hibiworks.tripod.com/harrypotter/

 

Regards

Translator

============================================================================

~ BAB I ~

DUDLEY GILA**)

[Selesai pada: 31 Juli 2003]

 

Suatu hari terpanas di musim panas membawa ke kesunyian yang melenakan di kompleks perumahan di Privet Drive. Mobil-mobil yang biasanya berkilau terparkir tertutup debu, dan halaman-halaman yang tadinya hijau cemerlang bak emerald terhampar kering dan menguning – dikarenakan pengunaan selang air dilarang selama musim kering. Sebagai ganti dari kegiatan mencuci mobil dan menyirami halaman, para penghuni Privet Drive lebih memilih untuk berlindung di dalam rumah mereka yang sejuk, jendela dibuka lebar-lebar dengan harapan adanya hembusan angin yang tak kunjung datang. Satu-satunya orang yang tertinggal di luar adalah seorang remaja laki-laki yang membaringkan punggungnya di atas hamparan bunga di halaman rumah nomor empat.

                        Ia seorang remaja yang kurus, berambut hitam, dan berkacamata, dengan wajah lelah dan tidak sehat seperti layaknya orang yang telah mengalami terlalu banyak hal dalam waktu singkat. Jinsnya robek dan kotor, T-shirtnya kebesaran dan memudar warnanya, dan bagian bawah sepatunya mengelupas. Penampilan Harry Potter tidak membuatnya disukai oleh para tetangga, yang merupakan tipe orang-orang yang menganggap bahwa penampilan yang kotor layak mendapat hukuman, namun sore itu ia telah menyembunyikan dirinya ke dalam semak yang membuatnya cukup terlindung dari pandangan orang lewat. Pada kenyataannya, satu-satunya kemungkinan ia akan ditemukan adalah jika Paman Vernon atau Bibi Petunia melongok dari jendela ruang tengah dan memandang lurus ke arah hamparan bunga di bawahnya.

                        Harry merasa ia layak mendapat ucapan selamat atas idenya bersembunyi di sini. Ia, mungkin, tidaklah merasa terlalu nyaman berbaring di cuaca panas, di atas tanah yang keras, namun di sisi lain, tak ada seorangpun yang memandang sebal padanya, yang mengertakkan gigi keras-keras sehingga ia tidak bisa mendengarkan berita, atau melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak menyenangkan kepadanya, seperti yang selama ini terjadi setiap kali ia mencoba untuk duduk di ruang tengah untuk menonton televisi bersama paman dan bibinya.

                        Hampir seakan-akan pikirannya bisa terbang menyusup masuk melalui jendela, tiba-tiba saja Paman Vernon, paman Harry, berkata,

                        “Leganya anak itu berhenti muncul. Di mana dia?”

                        “Entahlah,” sahut Bibi Petunia, tidak peduli. “Tidak di rumah.”

                        Paman Vernon mendengus.

                        Nonton berita...,” katanya kasar. “Aku ingin tahu apa maunya. Memangnya anak normal peduli apa dengan berita – Dudley tidak tahu apa yang sedang terjadi; entah apa dia tahu siapa Perdana Menteri kita! Lagipula, sepertinya kayak bakal ada sesuatu yang berhubungan dengan dia di berita kita –“

                        “Vernon, sst!” kata Bibi Petunia. “Jendelanya terbuka!”

                        “Oh – iya – maaf, Sayang.”

                        Kedua Dursley itu terdiam. Harry sedang mendengar jingle sereal Fruit ‘n’ Bran saat ia melihat Nyonya Figg, wanita tua pecinta kucing yang senang keluyuran malam-malam, dari arah Westeria Walk pelan-pelan melewatinya. Ia mengernyit dan menggerutu seorang diri. Harry merasa sangat bersyukur ia bersembunyi di semak-semak, sebab akhir-akhir ini Nyonya Figg selalu mengajaknya minum teh di rumahnya setiap kali ia bertemu Harry di jalan. Ia berbelok di sudut, dan menghilang dari pandangan saat suara Paman Vernon terdengar lagi.

                        “Dudders keluar minum teh?”

                        “Di rumah keluarga Polkiss,” kata Bibi Petunia senang. “Dia punya begitu banyak teman, dia begitu populer...”

                        Harry menahan dengusan dengan susah payah. Keluarga Dursley sangat bodoh menilai anaknya, Dudley. Mereka menelan mentah-mentah semua kebohongan bodoh Dudley tentang minum teh bersama anggota gengnya setiap sore di musim panas itu. Harry tahu benar Dudley tidak pernah pergi minum teh di mana pun; dia dan gengnya menghabiskan setiap sore dengan merusak taman bermain, merokok di sudut-sudut jalan dan melempari mobil-mobil dan anak-anak yang lewat dengan batu. Harry sudah menyaksikannya sendiri saat ia jalan-jalan sore di sekitar Little Whinging; ia telah menghabiskan hampir seluruh hari liburnya menyusuri jalan-jalan, mengorek-ngorek tempat sampah di sepanjang jalan – mencari koran.

                        Musik pembuka berita pukul tujuh terdengar oleh telinga Harry. Mungkin malam ini – setelah penantian selama satu bulan – adalah saatnya.

                        “Tercatat sejumlah keberangkatan tertunda dan para pelancong memenuhi lapangan udara akibat kedatangan backpacker asal Spanyol yang telah memasuki minggu kedua –“

                        “Aku mau memberi mereka ucapan selamat,” geraman Paman Vernon membuat akhir kalimat pembaca berita tak terdengar, tapi tak apa; di luar di hamparan bunga, perut Harry tak lagi terasa kencang. Jika sesuatu terjadi, pasti akan diberitakan di awal berita; kematian dan kerusakan lebih penting daripada pelancong yang tertunda.

                        Ia menghembuskan nafas panjang dan pelan, dan memandang langit yang biru cemerlang. Setiap hari di musim panas ini sama saja; tekanan, harapan, kelegaan sementara, kemudian tekanan lagi... dan selalu, menumbuhkan lebih besar tanda tanya, mengapa tak juga terjadi sesuatu.

                        Ia terus mendengarkan, kalau-kalau ada petunjuk kecil, yang tidak dimengerti oleh Muggle – orang yang hilang secara tidak wajar, kecelakaan aneh... tetapi berita tentang para backpacker itu diikuti oleh berita tentang kekeringan di daerah tenggara (“Kuharap tetangga sebelah dengar!” teriak Paman Vernon. “Dia dengan pompa air yang menyala jam 3 pagi!”), kemudian sebuah helikopter yang hampir saja jatuh di Surrey, kemudian perceraian seorang aktris terkenal dari suaminya yang terkenal (“Kayak yang kita tertarik sama perselingkuhan kotor mereka aja!” dengus Bibi Petunia, yang telah mengikuti kasus ini di setiap majalah yang dibacanya).

                        Harry menutup matanya dari langit sore saat pembaca berita berkata, “- dan akhirnya, Bungy si Parkit Kecil telah menemukan cara baru untuk membuat musim panas ini sejuk. Bungy, yang tinggal di Five Feathers di Barnsley, telah mempelajari ski air! Mary Dorkins pergi untuk mencari tahu.”

                        Harry membuka matanya. Jika mereka telah sampai pada para parkit kecil yang bisa berski-air, maka tidak ada lagi yang patut didengarkan. Ia berguling ke depan dan berdiri di atas lutut dan sikunya, bersiap untuk merangkak menjauhi jendela.

                        Ia sudah bergerak sekitar 2 inci ketika beberapa hal terjadi dengan cepat.

                        Sebuah suara yang nyaring bergema memecah keheningan yang melenakan itu bagaikan sebuah tembakan, seekor kucing berlari cepat dari bawah sebuah mobil yang diparkir dan segera menghilang dari pandangan; sebuah jeritan, sumpah serapah yang keras dan guci Cina yang pecah terdengar dari ruang tengah keluarga Dursley, dan seakan inilah yang ditunggu-tunggu Harry, iapun melompat ke atas kakinya, di saat yang sama menarik dari ikat pinggang jinsnya sebatang tongkat kayu bak menghunuskan pedang – tapi sebelum ia menarik dirinya seluruhnya, puncak kepalanya menabrak daun jendela keluarga Dursley yang terbuka. Bunyi benturan keras yang diakibatkannya membuat jeritan Bibi Petunia bahkan lebih keras lagi.

                        Harry merasa seolah-olah kepalanya terbelah dua. Matanya berkunang-kunang, tubuhnya oleng, berusaha untuk memfokuskan pandangannya ke jalan untuk mencari sumber keributan, tapi ia telah tak sadar berdiri ketika tangan-tangan ungu besar meraihnya melalui jendela yang terbuka dan mencekik lehernya.

                        “Tu – run – kan – itu!” Paman Vernon menggeram ke telinga Harry. “Sekarang! Sebelum – ada – yang – melihat!”

                        “Lepas – kan!” Harry tersengal. Selama beberapa detik mereka bergelut. Harry menarik jari-jemari pamannya yang seperti sosis itu dengan tangan kirinya, tangan kanannya tetap menggenggam tongkatnya yang teracung; kemudian, seiring dengan rasa sakit di kepalanya membuat Harry merasakan denyutan menyakitkan, Paman Vernon menjerit kesakitan dan melepaskan Harry seakan-akan ia baru saja tersetrum sesuatu. Sebuah kekuatan tak terlihat seperti mengalir melalui keponakannya, membuatnya tidak dapat lagi menahan Harry.

                        Tersengal, Harry jatuh ke depan melampaui semak, mengumpulkan kekuatan dan memandang sekeliling. Tak ada tanda-tanda penyebab keributan tadi, tapi tampak beberapa wajah mengintip dari jendela-jendela rumah sekitar. Cepat-cepat Harry menyarungkan kembali tongkatnya ke jinsnya dan mencoba untuk tampak tak berdosa.

                        “Sore yang indah!” teriak Paman Vernon, melambai ke arah Nyonya Nomor Tujuh di seberang, yang memandang sebal dari balik tirainya. “Anda dengar suara ledakan knalpot tadi? Aku dan Petunia kaget sekali!”

                        Ia terus tersenyum lebar buruk sekali, sampai semua tetangga yang penasaran menghilang dari jendela mereka, kemudian senyum lebar itu berubah menjadi wajah murka saat ia memanggil Harry.

                        Harry mendekat beberapa langkah, menjaga jarak agar ia tetap di luar jangkauan Paman Vernon yang mungkin akan memulai aksi pencekikannya lagi.

                        “Apa maksudmu dengan semua ini, heh?” tanya Paman Vernon dengan suara berat bergetar.

                        “Apa maksudku dengan semua yang mana?” kata Harry dingin. Ia terus melihat ke kiri dan ke kanan ke arah jalan, tetap berharap melihat orang yang membuat keributan tadi.

                        “Bikin ribut tepat di luar –“

                        “Bukan aku yang bikin ribut,” kata Harry ngotot.

                        Wajah Bibi Petunia yang cekung seperti kuda muncul di samping wajah lebar Paman Vernon yang keunguan. Ia tampak murka.

                        “Kenapa kau mengintip di bawah jendela kami?”

                        “Nah, betul itu, Petunia! Apa yang kau lakukan di bawah jendela kami?

                        “Mendengarkan berita,” kata Harry enggan.

                        Bibi dan pamannya berpandangan.

                        “Mendengarkan berita! Lagi?”

                        “Ya, kan berita beriubah setiap hari,” kata Harry.

                        “Jangan sok pintar di hadapanku, Anak Muda! Aku mau tahu apa yang sebenarnya kau cari – dan jangan bilang kau cuma mau dengar berita! Kau tahu benar bahwa –“

                        “Hati-hati, Vernon!” bisik Bibi Petunia, dan Paman Vernon merendahkan suaranya sehingga Harry bisa mendengarnya dengan jelas, “- bahwa tak ada hal-hal yang berhubungan denganmu di dalam berita!”

                        “Itu menurutmu,” kata Harry.

                        Selama beberapa detik Kedua Dursley itu melotot padanya, sebelum kemudian Bibi Petunia berkata, “Kau pembohong cilik. Memangnya apa yang mereka itu –“ Bibi Petunia merendahkan suaranya, sampai-sampai Harry harus membaca gerakan bibirnya untuk menangkap kata-kata bibinya, “- para burung hantu itu kerjakan jika mereka tidak membawakan berita untukmu?”

                        “Aha!” kata Paman Vernon dengan nada bagaikan bisikan penuh kemenangan. “Ayo, menyangkallah terus, anak muda! Seperti kami tidak tahu saja kalau kau mendapatkan berita dari burung-burung pembawa penyakit itu!”

                        Harry ragu sejenak. Rasanya enggan untuk mengakuinya, meskipun kemungkinan besar paman dan bibinya itu tidak akan menyadari betapa buruk perasaannya mengenai kenyataan ini.

                        “Burung-burung hantu itu... tidak membawakan berita apapun untukku,” ujarnya datar.

                        “Aku tak percaya,” sahut Bibi Petunia cepat.

                        “Aku juga tidak,” Paman Vernon sependapat.

                        “Kami tahu kau sedang merencanakan sesuatu,” kata Bibi Petunia.

                        “Asal kau tahu saja, kami ini tidak bodoh,” kata Paman Vernon.

                        “Wah, itu baru berita,” sahut Harry, emosinya memuncak, dan sebelum para Dursley itu sempat memanggilnya kembali, ia sudah berbalik, menyeberangi halaman depan, melompati pagar taman yang rendah, dan melangkah santai ke jalan.

                        Harry kini dalam masalah dan ia menyadarinya. Ia harus menghadapi bibi dan pamannya nanti dan membayar atas kelakuan kasarnya, namun untuk saat ini ia tidak terlalu mempedulikannya; ada masalah lain yang lebih membebani benaknya.

                        Harry merasa yakin bahwa suara nyaring tadi disebabkan oleh seseorang ber-apparate atau ber-disapparate. Seperti itulah suara Dobby si peri rumah saat ia menghilang. Apa mungkin Dobby ada di sini di Privet Drive? Apakah Dobby saat ini sedang membuntutinya? Dengan pemikiran itu, Harry memutar tubuhnya ke belakang dan memandang ke arah Privet Drive, tapi tempat itu tampak seperti kompleks tak berpenghuni dan lengang, dan ia yakin bahwa Dobby tidak tahu bagaimana caranya agar menjadi tak terlihat.

                        Ia pun meneruskan perjalanannya, sulit baginya untuk menyadari jalur yang diambilnya ini, karena ia telah terlalu sering menyusuri jalan-jalan ini sehingga kakinya membawanya ke tempat favoritnya tanpa disadarinya. Setiap beberapa detik ia menoleh ke balik pundaknya. Seseorang berkekuatan sihir telah hadir di dekatnya saat ia berbaring di tumbuhan begonia kering milik bibinya itu, ia yakin sekali. Mengapa mereka tidak bicara padanya, mengapa mereka tidak melakukan kontak dengannya, mengapa mereka bersembunyi?

                        Dan kemudian, seiring dengan memuncaknya rasa frustasinya, keyakinan Harry pun meluntur.

                        Mungkin tadi itu sama sekali bukan suara yang berhubungan dengan sihir. Mungkin ini karena ia begitu putus asa menanti tanda sekecil apapun yang menghubungkannya dengan dunianya, sehingga ia bersikap terlalu berlebihan terhadap keributan biasa. Bisakah ia yakin bahwa itu tidak lebih dari suara barang pecah dari rumah tetangga?

                        Harry merasakan sensasi aneh di perutnya, dan tanpa ia sadari, perasaan tak berdaya yang membebaninya sepanjang musim panas ini muncul kembali.

                        Esok ia akan terbangun oleh alarm pukul lima pagi agar ia dapat membayar burung hantu yang membawakannya Daily Prophet – tapi apakah masih ada gunanya terus membaca koran itu? Selama ini Harry hanya melihat sekilas menyusuri halaman depannya sebelum ia melemparkannya; ketika orang-orang bodoh yang menjalankan surat kabar itu menyadari bahwa Voldermort telah kembali dan menjadikannya berita utama, hanya itu yang Harry pedulikan.

                        Jika ia sedang beruntung, akan ada burung hantu yang membawakannya surat dari sahabat karibnya Ron dan Hermione, meskipun harapan bahwa mereka akan memberinya kabar menarik telah lama terhempas.

                        Pastinya kami tidak bisa bilang apa-apa soal Kau-tahu-apa... Kami dilarang membicarakan hal-hal penting khawatir kalau-kalau surat-surat kami sampai ke tangan yang salah... Kami cukup sibuk tapi kami ngga bisa menceritakan detilnya...  Ada beberapa hal terjadi dan kami akan memberitahukanmu saat kita bertemu...

                        Tapi kapan mereka akan bertemu? Kelihatannya tak seorangpun yang cukup peduli untuk memberinya tanggal yang pasti. Hermione telah menuliskan kata-kata madu kuharap kami akan bertemu denganmu secepatnya di dalam kartu ulang tahunnya, tapi seberapa cepatkah cepat itu? Sejauh yang Harry tangkap dari petunjuk-petunjuk tersirat dalam surat-surat mereka, Hermione dan Ron bersama-sama di satu tempat, kemungkinan di rumah orang tua Ron. Sulit baginya memikirkan bahwa keduanya sedang bersenang-senang di The Burrow sementara ia terjebak di Privet Drive. Pada kenyataannya, saking marahnya Harry sampai membuang dua kotak coklat Honeyduke yang masih terbungkus yang telah Hermione dan Ron kirimkan sebagai hadiah ulang tahun. Yang kemudian disesalinya, ketika malamnya Bibi Petunia menghidangkan salad basi untuk makan malam.

                        Apa yang sedang dikerjakan Ron dan Hermione? Mengapa ia, Harry, tidak ikut terlibat? Tidakkah sudah ada cukup bukti bahwa ia lebih mampu menangani berbagai hal daripada mereka berdua? Apa mereka sudah lupa atas apa yang telah ia lakukan? Bukankah dia yang telah memasuki pekuburan dan menyaksikan Cedric dibunuh, dan terikat di batu nisan dan nyaris terbunuh?

                        Jangan berpikir tentang itu, demikian Harry memperingatkan dirinya sendiri ratusan kali selama musim panas itu. Sudah cukup baginya terus-menerus mengunjungi pekuburan itu di dalam mimpinya, tanpa harus memikirkannya juga saat ia terjaga.

                        Ia menikung ke arah Magnolia Crescent; separuhnya ia melewati gang di sisi sebuah garasi dimana ia pertama kali bertemu mata dengan walinya, Sirius, yang paling tidak, kelihatannya mengerti perasaan Harry. Sejujurnya, surat-suratnya sama kosongnya dengan yang sudah dikirimkan oleh Ron dan Hermione, tetapi setidaknya surat-surat Sirius berisi kata-kata yang penuh perhatian dan menenangkan, bukannya petunjuk-petunjuk samar; Aku tahu ini pasti membuatmu sangat frustrasi... Jangan berbuat macam-macam dan kau akan baik-baik saja... Jaga dirimu dan jangan melakukan hal-hal sembarangan...

                        Saat ia menyeberangi Magnolia Crescent, menikung ke Magnolia Drive, dan berjalan menuju ke taman bermain yang mulai gelap, Harry berpikir, yah, ia telah (secara keseluruhan) melakukan apa yang disarankan Sirius. Ia paling tidak sudah menahan diri dari godaan untuk mengikatkan kopornya ke ekor sapunya dan pergi ke The Burrow. Pada kenyataannya, Harry merasa ia telah bersikap terlalu manis bila mengingat betapa frustrasi dan marahnya ia terjebak sendirian di Privet Drive, dan bahkan lebih memilih untuk bersembunyi di semak mencuri dengar berita demi petunjuk akan apa yang mungkin sedang dilakukan oleh Lord Voldermort. Bagaimanapun, agak aneh bila ia disarankan untuk jangan berulah sembarangan oleh seorang pria yang telah menjalani duabelas tahun di penjara penyihir, Azkaban, melarikan diri, berusaha untuk membersihkan namanya atas tuduhan pembunuhan yang ditujukan kepadanya, dan kemudian melarikan diri dengan seekor Hippogriff curian.

                        Harry meloncati gerbang taman yang terkunci, dan kemudian berjalan menyeberangi rerumputan. Taman itu sama sepinya dengan jalanan. Saat ia mencapai ayunan, ia mendudukkan diri ke satu-satunya ayunan yang belum terjamah oleh Dudley dan gengnya, melingkarkan satu lengannya ke rantainya dan memandang ke tanah dengan murung. Ia tidak akan bisa bersembunyi di semak-semak lagi. Besok, ia harus dapat memikirkan ide baru bagaimana caranya mendengarkan berita. Sementara itu, tak ada hal lain yang menantikannya selain malam yang melelahkan dan mengganggu, sebab walaupun ia berhasil tidak memimpikan Cedric, ia justru memimpikan tentang koridor-koridor panjang dan gelap, semuanya berakhir dengan jalan buntu dan pintu-pintu yang terkunci, dimana ia merasa harus melakukan sesuatu terhadap perasaan terjebak yang ia rasakan setiap kali ia terbangun. Seringkali bekas luka di keningnya terasa menusuk-nusuk, tetapi ia tidak mau membodohi diri sendiri dengan mengira bahwa Ron dan Hermione ataupun Sirius akan tertarik. Tadinya, bekas luka itu akan terasa menyakitkan sebagai tanda bahwa kekuatan Voldermort semakin kuat, tetapi sekarang dengan kemunculan kembali Voldermort, paling-paling mereka hanya akan mengingatkan Harry bahwa itu hanyalah iritasi ringan belaka... tak ada yang perlu dikhawatirkan... berita basi...

                        Perasaan akan perlakuan tidak adil ini tumbuh di hatinya hingga membuatnya ingin berteriak keras-keras. Kalau bukan karena dia, tidak akan ada seorangpun yang tahu bahwa Voldermort telah kembali! Dan hadiah yang didapatkannya hanyalah terduduk sendiri di Little Whinging selama empat minggu penuh, benar-benar terisolir dari dunia sihir, sebagai gantinya justru bersembunyi di hamparan begonia untuk menguping berita tentang burung parkit yang bermain ski-air! Bagaimana mungkin Dumbledore melupakannya dengan begitu mudah? Kenapa Ron dan Hermione melakukan sesuatu bersama-sama tanpa mengajaknya ikut serta? Berapa lama lagi ia harus terus-menerus menerima pesan Sirius agar ia duduk manis dan jadi anak baik; atau menahan godaan untuk menulis ke Daily Prophet dan mengatakan sendiri bahwa Voldermort telah kembali? Semua pikiran gila ini berputar-putar di kepala Harry, dan benaknya bergejolak penuh amarah sementara malam yang panas bak kain beludru mulai turun, udara dipenuhi bau hangat rerumputan kering, dan satu-satunya yang terdengar hanyalah geraman mobil-mobil yang melewati jalan di luar gerbang taman.

                        Ia tidak tahu berapa lama ia duduk di ayunan sebelum kemudian suara-suara orang berbicara mengganggu lamunannya dan iapun menengadah. Lampu-lampu jalan yang memancarkan cahaya berkabut cukup kuat untuk memberi siluet sekelompok orang yang sedang berjalan melintasi taman. Satu dari mereka bernyanyi lagu yang kasar keras-keras. Yang lainnya tertawa. Suara berdetik lembut terdengar dari beberapa sepeda balap mahal yang dituntun.

                        Ia tahu benar siapa mereka itu. Sosok yang di depan itu tak salah lagi adalah sepupunya, Dudley Dursley, sedang menuju ke rumah, ditemani oleh geng setianya.

                        Dudley masih sebesar dulu, tetapi diet ketatnya selama setahun dan penemuan bakat baru telah menempa fisiknya dengan cukup signifikan. Paman Vernon dengan senang hati akan bercerita kepada siapa saja yang bersedia mendengarkan, bahwa Dudley baru-baru ini memenangkan Kejuaraan Tinju Kelas Berat Antar-Sekolah se-tenggara. “Olahraga Terhormat”, begitu istilah Paman Vernon, telah membuat Dudley kelihatannya lebih hebat daripada saat sekolah dasar dulu, saat Harry mendapat kehormatan menjadi sasaran tinju Dudley yang pertama. Harry tidak lagi takut pada sepupunya itu, namun ia tetap tidak menganggap bahwa Dudley yang belajar bagaimana caranya memukul dengan lebih keras dan lebih akurat itu sebagai hal patut dirayakan. Semua anak di daerahnya takut padanya – bahkan melebihi ketakutan mereka dulu pada “Si Potter” yang sebagaimana mereka telah diperingatkan, adalah hooligan yang pernah masuk ke Pusat Keamanan St. Brutus untuk Anak-anak Dengan Perilaku Kriminal Yang Tidak Dapat Disembuhkan.

                        Harry mengawasi sosok-sosok gelap itu melintasi taman dan bertanya-tanya siapa yang telah mereka hajar. Lihat sekeliling, sambil terus mengawasi mereka, Harry mendapati dirinya berpikir. Ayolah... lihat sekeliling... aku duduk sendirian di sini... ayolah...

                        Jika teman-teman Dudley melihatnya di sini, mereka pasti akan langsung lurus menuju ke arahnya, dan apa yang akan dilakukan Dudley selanjutnya? Ia pasti tidak akan mau kehilangan muka di depan gengnya, tetapi ia juga pasti takut memprovokasi Harry... akan sangat menyenangkan menyaksikan dilema yang akan dihadapi Dudley, mengejeknya, mengawasinya, dengan ketidakberdayaannya... dan kalau siapa saja berani menyerangnya, ia siap – ia toh punya tongkatnya. Coba saja... ia ingin sekali melampiaskan rasa frustrasinya kepada mereka yang pernah membuat hidupnya bagaikan neraka.

                        Tapi mereka tidak menoleh, mereka tidak melihatnya, mereka hampir mencapai gerbang. Harry berhasil menguasai hasrat untuk mengejar mereka... mencari gara-gara bukanlah ide yang cemerlang... ia tidak boleh menggunakan sihir... itu beresiko ia akan dikeluarkan.

                        Suara-suara geng Dudley menghilang, mereka sudah tidak kelihatan lagi, seiring dengan langkah mereka menuju Magnolia Road.

                        Nah, Sirius, pikir Harry. Tak ada tindakan sembrono. Tidak melakukan apapun yng tidak pantas. Benar-benar berlawanan dengan apa yang kau sendiri pernah lakukan.

                        Harry bangkit dan meregangkan tubuhnya. Bibi Petunia dan Paman Vernon kelihatannya menganggap bahwa kapanpun Dudley pulang adalah saat yang tepat untuk pulang, setelah itu mereka anggap sebagai terlalu terlambat. Paman Vernon telah mengancam bahwa jika Harry lagi-lagi pulang setelah Dudley, maka ia akan menguncinya di beranda, maka, sambil menguap dan masih mengernyit, Harry pun mulai melangkah menuju gerbang taman.

                        Magnolia Road seperti juga Privet Drive, dipenuhi oleh rumah-rumah besar dan persegi, dengan halaman yang terpangkas rapi, yang semuanya dimiliki oleh orang-orang yang besar dan persegi, yang mengendarai mobil-mobil yang super bersih sama dengan yang dikendarai oleh Paman Vernon. Harry lebih suka Little Whinging di malam hari, di mana jendela-jendela bertirai memendarkan pola warna seperti kilau perhiasan dan ia tidak perlu lari dari gerutuan pemilik rumah yang menyaksikan kemunculannya yang “penuh dosa”. Ia berjalan dengan cepat, sehingga pada setengah Magnolia Road, geng Dudley terlihat lagi, mereka mengucapkan selamat berpisah di pintu masuk Magnolia Crescent. Harry berlindung ke dalam bayangan pohon lili besar dan menunggu.

                        “... mencicit seperti babi dia tadi, ya kan?” Malcom berkata, disusul oleh gelak tawa yang lain.

                        “Pukulan yang bagus, Big D,” kata Piers.

                        “Waktu yang sama besok?” kata Dudley.

                        “Kumpul di rumahku besok, orangtuaku keluar,” kata Gordon.

                        “Oke, sampai jumpa besok kalau gitu,” sahut Dudley.

                        “Bye, Dud!”

                        “See ye, Big D!”

                        Harry menunggu hingga semua anggota geng melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing sebelum ia sendiri mulai melangkah. Begitu suara mereka mulai menghilang, ia kembali menikung ke Magnolia Crescent, dan dengan melangkah secepatnya  ia segera tiba ccukup dekat dengan Dudley, yang sedang melangkah pelan-pelan mengingat berat badannya, bersenandung tanpa nada.

                        “Hei, Big D!”

                        Dudley menoleh.

                        “Oh,” sungut Dudley. “Kamu.”

                        “Sejak kapan kau jadi ‘Big D’?” kata Harry.

                        “Tutup mulut,”geram Dudley, melengos.

                        “Nama yang keren,” kata Harry, menyeringai dan melangkahkan kakinya ke sebelah sepupunya itu. “Tapi bagiku kau tetap saja ‘Si Diddy’.”

                        “Kubilang, DIAM!” kata Dudley, yang tangan-besar-bak-daging-ham-nya itu  mengepalkan tinjunya.

                        “Apa mereka ngga tahu apa panggilan dari mamamu?”

                        “Tutup mulut.”

                        “Kau ngga menyuruh mamamu tutup mulut. Bagaimana kalau ‘Popkin’ atau ‘Dinky Diddykins’, boleh aku pakai salah satunya?”

                        Dudley tidak menyahut sepatah katapun. Usaha untuk menahan diri dari keinginan untuk memukul Harry kelihatannya menuntut pengendalian diri yang luar biasa.

                        “Jadi, siapa yang kauhajar malam ini?” cengiran Harry lenyap. “Lagi-lagi anak sepuluh tahun? Aku tahu kau menghajar Mark Evans dua malam lalu –“

                        “Dia yang cari gara-gara,” geram Dudley.

                        “Oh ya? Apa dia bilang kau mirip babi yang lagi belajar jalan dengan kaki belakangnya? Kalau itu bukannya bermaksud kurang ajar, Dud, itu kenyataan.”

                        Otot rahang Dudley mengeras. Itu memberi Harry kepuasan tak terkira, menyadari betapa ia telah membuat Dudley sangat marah; seolah-olah ia telah menyalurkan rasa frustrasinya ke sepupunya itu, satu-satunya pelampiasan yang ada.

                        Mereka menikung ke kanan ke gang di mana ia pertama bertemu Sirius, dan yang merupakan jalan pintas antara Magnolia Crescent dan Westeria Walk. Gang itu sepi dan lebih gelap daripada dua jalan yang dihubungkannya sebab tak ada lampu jalan di sana. Langkah kaki mereka menggema di antara pintu garasi di satu sisi dan pagar tinggi di sisi lain.

                        “Kau kira kau hebat, ya, bawa-bawa benda itu?” kata Dudley setelah beberapa saat.

                        “Benda apa?”

                        “Itu – benda yang kau sembunyikan itu.”

                        Harry menyeringai lagi.

                        “Ternyata kamu ngga sebodoh tampangmu, ya, Dud? Tapi kurasa, kalau kamu memang bodoh, kamu ngga akan bisa ngomong sambil berjalan.”

                        Harry menarik tongkatnya. Ia melihat Dudley memandanginya.

                        “Kamu ngga boleh,” kata Dudley cepat. “Aku tahu kamu ngga boleh. Kamu bakal dikeluarin dari sekolah aneh itu.”

                        “Bagaimana kau tahu kalau mereka belum mengubah peraturan, Big D?”

                        “Sudah pasti belum,” sahut Dudley, meskipun kedengarannya ia tidak begitu yakin.

                        Harry tertawa pelan.

                        “Kamu ngga akan berani menantangku kalau kamu ngga bawa-bawa benda itu, kan?” geram Dudley.

                        “Sedangkan kau butuh empat orang di belakangmu untuk menghajar anak sepuluh tahun? Kau tahu gelar tinju yang kaugembar-gemborkan itu? Memangnya berapa umur lawanmu? Tujuh? Delapan?”

                        “Asal tahu saja ya, dia enam belas tahun,” geram Dudley. “Dan dia ngga sadarkan diri duapuluh menit setelah aku menghabisinya dan beratnya dua kali lipat beratmu. Tunggu sampai aku bilang Dad bahwa kamu berani mengeluarkan benda itu –“

                        “Lari ke Daddy, eh? Apa si juara tinjunya ini takut sama tongkat si Harry?”

                        “Jadi pengecut di malam hari, eh?” ejek Dudley.

                        “Ini kan malam, Diddykins. Begitu kita menyebutnya begitu hari mulai gelap seperti ini.”

                        “Maksudku waktu kau tidur!” Dudley menggeram.

                        Ia berhenti berjalan. Harry ikut berhenti dan menatap sepupunya itu. Dari sedikit yang bisa ia tangkap dari wajah lebar Dudley itu, ia tampak penuh kemenangan.

                        “Apa maksudmu aku pengecut waktu aku tidur?” kata Harry kebingungan. “Memangnya apa yang mesti aku takutkan; bantal?”

                        “Aku mendengarnya semalam,” ujar Dudley sambil menahan nafas. “Bicara sambil tidur. Mengerang.”

                        “Apa maksudmu?” kata Harry, tapi ada rasa dingin di perutnya. Semalam lagi-lagi ia bermimpi tentang kuburan itu.

                        Dudley mengeluarkan suara tawa seperti gonggongan yang keras, kemudian ia meniru suara mengaduh dengan nada tinggi.

                        “’Jangan bunuh Cedric! Jangan bunuh Cedric!’ Siapa Cedric? Temanmu?”

                        “Aku – kau bohong!” sahut Harry serta merta. Tapi mulutnya mengering. Ia tahu Dudley tidak sedang berbohong, bagaimana lagi sampai ia tahu tentang Cedric?

                        “’Dad! Tolong! Dia akan membunuhku, Dad! Hu hu hu!’”

                        “Tutup mulut,” ujar Harry pelan. “Kuperingatkan kau, tutup mulutmu, Dudley.”

                        “’Cepat tolong aku, Dad! Mom, tolong aku! Dia membunuh Cedric! Dad, tolong aku! Dia akan –‘ Jangan acungkan benda itu ke arahku!

                        Dudley merapat ke dinding lorong. Harry sedang mengacungkan tongkatnya tepat ke jantung Dudley. Ia bisa merasakan kebenciannya selama empatbelas tahun telah meledakkan pembuluh darahnya – apa yang tidak ingin dilakukannya sekarang; mengutuk Dudley agar ia merangkak ke rumah seperti serangga, dengan kaki bersulur?

                        “Jangan pernah membicarakan itu lagi,” geram Harry. “Kau mengerti?”

                        “Arahkan benda itu ke tampat lain!”

                        “Kubilang, kau mengerti?”

                        Arahkan ke tempat lain!”

                        “KAU MENGERTI TIDAK?”

                        “SINGKIRKAN BENDA ITU DARI –“

                        Dudley terengah aneh seperti kedinginan, seperti orang yang dipancuri air es.

                        Sesuatu telah terjadi. Langit keunguan yang bertabur bintang tiba-tiba hitam legam tanpa cahaya – bintang, bulan, bahkan cahaya lampu jalan yang berkabut di ujung gang itu pun menghilang. Geraman mobil dan gemerisik pepohonan tak terdengar lagi. Malam yang hangat telah berganti menjadi dingin yang menggigit dan menusuk. Mereka telah dikelilingi oleh kegelapan total yang sunyi dan tak tertembus, seakan-akan seorang raksasa telah menjatuhkan mantel yang tebal dan dingin menutupi seluruh gang, membutakan mereka.

                        Untuk beberapa detik Harry mengira ia telah menggunakan sihir diluar kesadarannya, tanpa mengingat betapa ia telah berusaha keras untuk tidak menggunakan sihir – kemudian ia baru menyadari – bahwa ia tidak punya kekuatan untuk memadamkan bintang-bintang. Ia menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencoba untuk melihat sesuatu, namun kegelapan menekan kedua matanya seperti layar tanpa massa.

                        Suara Dudley yang ketakutan memasuki telinga Harry.

                        “A – apa yang kaulakukan? Hen – hentikan!”

                        “Aku tidak melakukan apapun! Diam dan jangan bergerak!”

                        “A – aku t – tidak bisa melihat! A – aku buta! Aku –“

                        “Kubilang diam!”

                        Harry berdiri tegak, memutar matanya yang tidak dapat melihat apapun itu ke kiri dan ke kanan. Rasa dingin itu begitu kuat hingga seluruh tubuhnya mengigil, lengan dan tengkuknya merinding – ia membuka matanya selebar mungkin, memandang sekeliling tanpa bisa melihat sesuatupun.

                        Mustahil... tidak mungkin mereka ada di sini... tidak di Little Whinging... Ia menajamkan telinganya...mestinya ia bisa mendengarkan mereka sebelum melihat kedatangan mereka.

                        “A – aku akan bilang Dad!” Dudley merengek. “D – Dimana kau? A – apa yang kau la –“

                        “Bisa diam tidak!” Harry mendesis. “Aku sedang mencoba mendenga –“

                        Tapi iapun terdiam. Ia baru saja mendengar apa yang sangat ia takutkan.

                        Ada sesuatu di gang itu selain mereka berdua, sesuatu yang menarik nafas panjang, serak, dan bergemeletuk. Harry merasakan hentakan ketakutan yang mengerikan sementara ia berdiri di tempatnya gemetar dalam udara dingin.

                        “Hen – hentikan! Berhenti! Akan kupukul kau, sumpah akan kupukul kau!”

                        “Dudley, tutup mu –“

                        BUGH.

                        Sebuah tinju mengenai sisi kepala Harry, menggoyahkannya. Cahaya putih memendar di matanya. Untuk kedua kalinya dalam satu jam ini Harry merasakan kepalanya seperti terbelah dua, sesaat kemudian, ia telah mendarat di atas tanah dengan tongkatnya terlepas dari genggamannya.

                        “Dasar bodoh kau, Dudley!” Harry membentak. Matanya berair menahan sakit sambil ia merangkak dengan tangan dan lututnya, merasakan sekelilingnya dalam kebingungan dan kegelapan. Ia mendengar Dudley gelagapan, menabrak pagar, tersandung.

                        “DUDLEY KEMBALI! KAU JUSTRU MENGHAMPIRINYA!”

                        Terdengar jeritan mencicit yang mengerikan dan langkah Dudley pun terhenti. Pada saat yang sama, Harry merasakan hawa dingin merangkak di belakangnya yang itu berarti: sesuatu itu ada lebih dari satu.

                        “DUDLEY TETAPLAH DIAM! APAPUN YANG KAULAKUKAN, TETAPLAH DIAM! Tongkat!” Harry bergumam, tangannya meraba-raba seperti laba-laba. “D – dimana – tongkat – lumos!”

                        Secara otomatis ia merapal mantra karena ia begitu membutuhkan cahaya untuk membantu pencariannya – dan dengan kelegaan, cahaya memendar beberapa inci dari tangan kanannya – ujung tongkatnya menyala. Harry merenggut tongkatnya, merangkak dengan kakinya dan berbalik.

                        Perutnya bergemuruh.

                        Sesosok tinggi bertudung meluncur mulus ke arahnya, mengambang, tak ada wajah atau kaki tampak di balik jubahnya, menghisap malam dengan kedatangannya.

                        Tersandung ke depan, Harry mengacungkan tongkatnya.

                        “Expecto patronum!”

                        Seutas asap keperakan melesat dari ujung tongkatnya dan Dementor itu melambat, tapi mantra itu tidak bekerja sebagaimana mestinya; melompat-lompat di sekitar kakinya sendiri. Harry mundur menjauh sementara Dementor menyerbu ke arahnya, kepanikan menyelubungi kepalanya – ayolah, konsentrasi

                        Sepasang tangan abu-abu, berlendir, dan berkudis meluncur dari balik jubah Dementor, mencoba meraihnya. Suara menderu memenuhi telinga Harry.

                        “Expecto patronum!”

                        Suaranya terdengar jauh dan sayup-sayup. Satu lagi untaian asap keperakan, lebih lemah dari sebelumnya, mengalir dari tongkatnya – ia tidak bisa lagi melakukannya, ia tidak bisa lagi merapal mantra itu.

                        Terdengar suara tawa di kepalanya, tawa yang nyaring dan berdenging...ia bisa mencium nafas yang busuk dan dingin Dementor itu mengisi paru-parunya, menenggelamkannya – pikirkanlah... pikirkan sesuatu yang membahagiakan...

                        Tapi tak ada kebahagiaan di dalam dirinya... tangan Dementor yang sedingin es semakin mendekati lehernya – tawa nyaring itu terdengar semakin keras dan semakin keras, dan sebuah suara berbicara di dalam kepalanya: “Panahlah kematian, Harry... mungkin rasanya sama sekali tidak sakit... aku tidak tahu... aku belum pernah mati...”

                        Ia tidak akan bisa bertemu Ron dan Hermione lagi...

                        Dan kemudian wajah mereka muncul nyata di benaknya, di sela perjuangannya untuk bisa bernafas.

                        “EXPECTO PATRONUM!”

                        Seekor rusa jantan maha besar berwarna perak melesat dari ujung tongkat Harry; tanduknya menerjang tepat di mana seharusnya jantung berada, Dementor itupun terlempar, tanpa massa seperti halnya kegelapan ini, dan seiring dengan rusa jantan yang menyerangnya, Dementor itu tersambar, seperti kelelawar, dan terkalahkan.

                        “KE SINI!” Harry berteriak pada rusa jantan itu. Harry berputar dan berlari cepat menyusuri gang, menjaga nyala di tongkatnya. “DUDLEY! DUDLEY!”

                        Ia telah berlari paling tidak selusin langkah ketika ia mencapai mereka. Dudley meringkuk di tanah, tangannya menutup wajahnya. Dementor yang kedua membungkuk rendah ke arahnya, memegang lengannya dengan tangan berlendirnya, membukanya perlahan-lahan nyaris dengan sangat lembut, mendekatkan wajah bertudungnya ke wajah Dudley seperti hendak mengecupnya.

                        “SERANG DIA!” Harry berteriak, dan dengan suara menderu, rusa jantan perak yang telah dimantrainya itu berlari kencang melewatinya. Wajah tanpa mata Dementor hanya satu inci dari wajah Dudley saat rusa jantan perak menerjangnya; mahluk itu terlempar ke udara, dan seperti rekannya, menguap dan terhisap kegelapan. Sang rusa jantan perak menderap hingga ke ujung gang dan berubah menjadi kabut keperakan.

                        Bulan, bintang-bintang, dan lampu-lampu jalan kembali memancarkan cahaya. Kehangatan menghembus di lorong itu. Pepohonan bergemerisik di taman sekitar, dan deru mobil dari Magnolia Crescent terdengar lagi. Harry berdiri cukup kokoh, seluruh inderanya bergetar, meredakan keterkejutannya kembali ke normal. Setelah beberapa saat, barulah Harry menyadari bahwa T-shirtnya menempel ketat di tubuhnya, ia basah kuyup oleh keringat.

                        Ia masih tidak bisa percaya akan apa yang baru saja terjadi. Dementnr di sini, di Little Whinging.

                        Dudley terbaring meringkuk di tanah, bergumam, dan gemetar. Harry membungkuk ke dekatnya memeriksa apakah Dudley cukup kuat untuk berdiri, tetapi kemudian ia mendengar suara langkah kaki berlari di belakangnya. Mengikuti instingnya, ia mengacungkan kembali tongkatnya, memutar tumitnya untuk menghadapi siapa lagi yang datang.

                        Nyonya Figg, wanita tua tetangganya yang senang keluyuran malam-malam itu, berlari terengah-engah. Rambut abu-abunya yang beruban terlepas dari jepitannya, tas belanjanya bergemerincing mengayun-ayun di lengannya dan kakinya hampir keluar dari selop wolnya. Harry cepat-cepat menyembunyikan tongkatnya, tetapi –

                        “Jangan singkirkan itu, kau anak bodoh!” ia memekik. “Bagaimana kalau masih ada lagi yang lain? Oh, akan kubunuh si Mundungus Fletcher itu!”

 

~ BAB 1 SELESAI ~

 

*) Mungkin kosakata bahasa Indonesia saya memang kurang. “The Order of The Phoenix” sebenarnya mengacu kepada “perkumpulan orang-orang yang mana perkumpulan itu disebut dengan Phoenix” (order=a group of people belonging to a special class as an honour).

Mungkin Anda tahu frase yang lebih baik untuk menggambarkan hal tersbut, dibandingkan dengan sekedar “Ordo Phoenix”? “Kelompok Phoenix” kedengarannya kurang berwibawa.

**): Judul sebenarnya “Dudley Demented”. Demented=gila, tapi mungkin penggunaan kata “demented” lebih mengacu pada kemunculan dementor, dibandingkan pada ‘kegilaan’ Dudley.

 

[ke bab selanjutnya >>]